Bab 17 : Tentang Pernikahan

17.7K 2.3K 170
                                    

Bab 17 : Tentang Pernikahan

Nazira yakin dia pernah memikirkan pernikahan. Pernah. Mungkin sekarang pikiran atas pernikahan bukan prioritasnya, tapi dia yakin pernah memikirkannya. Dia bisa membayangkan pernikahan yang ingin dia jalani, seperti apa proses yang dia inginkan dan apapun itu. Dia tentu memiliki gambaran akan itu semua.

Sayangnya, dia lupa menggambarkan sosok yang ingin dia jadikan suami.

Jika membayangkan bagaimana kakaknya kesusahan untuk mendapatkan hari H pernikahan, Nazira masih merasa mimpi bahwa lamaran seorang laki-laki kepadanya hanyalah sebatas obrolan singkat di coffee shop, tanpa persiapan dan tanpa tanda-tanda.

Satu hal yang dia pertanyakan: apa pernikahan memang segampang ini pada sebagian orang?

Ia menggeleng. Sesuatu yang besar tentu harus memiliki persiapan yang matang. Dia yakin akan hal itu.

"Aku mau membangun hubungan sama Kak Rendi, tapi aku nggak akan menikah sebelum aku yakin Kak Rendi orang yang tepat."

Dia mengucapkan hal itu sebelum akhirnya meninggalkan coffee shop dalam kesengsaraan dan pikiran berat yang luar biasa. Dadanya sakit, egonya tersentil, ada kemarahan yang dia rasakan tiap kali mengingat momen itu. Nazira belum bisa berpikir karena segalanya terlihat begitu mudah. Seenggaknya saat ini, benar-benar dirinya terlihat sangat mudah.

Dia menggeram. Sialan! Kalau saja dia nggak berpikir pendek untuk menjawab pertanyaan itu ... mungkin aja hari-harinya akan terasa lebih ringan ke depannya.

Nazira berhenti di depan pintu unitnya. Dia belum berniat masuk. Sepanjang perjalanan pulang ... yang dia lakukan hanyalah bermenung. Ini seperti keputusan paling bercanda yang pernah dia lakukan. Nazira berpikir tiga bulan untuk menjadikan akun sosial medianya sebagai konsumsi publik. Ia bahkan berpikir dua tahun untuk yakin membuka Valeries. Ya kali dia menyetujui pernikahan hanya dalam waktu sepuluh detik!

Sudahlah! Biarkan saja Rendi yang memikirkan pernikahan sendiri! Hubungan itu kan kompromi, dia sudah setuju tapi bukan berarti laki-laki itu bisa menikahinya minggu depan. Dia juga harus tahu bahwa Nazira butuh persiapan untuk segala hal.

Lelah memikirkan jalan hidupnya mulai besok, Nazira memutuskan untuk masuk ke dalam unitnya. Dia tersentak, Miwa ternyata ada di dalam ... tengah duduk santai di ruang tengah.

"Hai, Sayangku," sapa Miwa terdengar ceria namun menyebalkan.

Nazira memutar bola mata. Dia benar-benar ingin sendiri sekarang, memikirkan banyak hal, tapi kakaknya malah datang ke apartemennya. Dari baju yang dikenakan Miwa yang sudah mengenakan terusan, sudah jelas kakaknya akan menginap. "Kakak nggak bilang mau ke sini?"

"Udah. Kamu nggak balas chat aku," Miwa memakan popcorn-nya. Berat badan kakaknya karena kehamilan mulai naik signifikan. Sepertinya ini pertama kali Nazira melihat Miwa dengan berat badan yang cukup gempal. Biasanya kakaknya selalu berisik kalau berat badannya bertambah. "Suka banget deh orang-orang nggak balas chat aku sekarang."

Orang-orang yang dimaksud Miwa tentu hanyalah Arsyanendra, kakak iparnya. Kakaknya sendiri juga paling malas berkomunikasi dengan ponsel, makanya dulu mereka sering putus kalau udah LDR.

Nazira melepaskan sepatu dan menaruh di lemari di balik pintu. "Aku kan habis ngantor ke Valeries dulu, Kak. Jadinya nggak sempat ngecek HP."

Miwa merebahkan badannya. "Iya, tahu," Kakaknya menarik napas panjang. "Aku kok lapar terus ya, Dek? Mau masak nggak?" Tawarnya.

Nazira tentu langsung menyanggah. "Nggak mau ah. Males!" Ia masuk ke dalam kamarnya. Baru akan mengeluarkan ponsel, Nazira teringat akan Rendi. Karena itu gadis itu urung melakukannya. Dia ingin jauh-jauh dari benda itu dulu dan memilih kembali ke ruang tengah. Nazira duduk lesehan di lantai dengan menyandarkan punggung ke kaki sofa karena Miwa menguasai sofa.

Crush | ✓Where stories live. Discover now