Bab 25 : Titik Tengah

16.7K 2.3K 189
                                    

Bab 25 : Titik Tengah

Nazira menarik napas panjang. Jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Hari ini sungguh panjang sekali hingga mereka baru sempat makan malam. Apartemen Rendi masih nggak ada bedanya dari terakhir kali dia ke sini, masih bersih dan rapi dan tidak ada benda-benda aneh. Sepertinya Rendi penganut paham hidup minimalis.

Belum ada pembahasan serius yang mereka lakukan dari siang. Entah keduanya sedang mengulur-ulur waktu atau mencari momen yang tepat.

Nazira pikir sepertinya nggak ada yang momen yang tepat. Setiap momen memiliki ketepatan waktunya masing-masing. Jika berpikir membicarakan permasalahan mereka tadi pagi adalah waktu yang tepat, sepertinya itu salah karena keduanya masih bungkam hingga malam hari. Padahal mereka selalu bersama sepanjang hari.

Saat melihat Rendi keluar dari kamarnya dan telah mengenakan pakaian santai, Nazira baru memindahkan nasi ke atas piring masing-masing. Wangi sabun dan shampo menguar di hidungnya saat pemuda itu duduk tepat di depannya.

"Maaf lama," Rendi membantu Nazira, membagikan ayam goreng bawang yang tadi mereka masak bersama untuk masing-masing piring. Nazira sempat tertegun karena Rendi tahu dia menyukai paha bagian atas. "Bukannya kamu suka paha atas?" Tanya Rendi bingung melihat Nazira membatu.

Nazira tampak kaget. "Kak Rendi tau dari mana?"

Rendi tersenyum. "Memperhatikan orang lain adalah tugasku dari belasan tahun yang lalu, Ziya. Kita sering makan di meja yang sama, jadi nggak sulit buat tahu kamu suka makanan apa."

Nazira mencibir. "Aku nggak suka makanan apa?"

"Kamu sering nggak makan kacang merah atau kacang-kacangan. Tapi pecel, gado-gado dan lainnya masih kamu makan. Bener, nggak?"

Benar lagi.

"Kulitku sensitif kalau makan kacang-yang tanpa diolah," Nazira mulai suapan pertama. Perutnya berbunyi lega karena akhirnya diisi oleh makanan. Dia memperhatikan Rendi, berjaga-jaga. Semoga laki-laki itu nggak tahu perutnya sedang bunyi. "Kalau makan terus begini, aku benar-benar bisa gendut, Kak," keluhnya. Nazira seumur hidupnya selalu menjaga berat badannya.

"Gimana kalau jumat malam kamu ikut aku nge-gym?" Tanya Rendi. "Tempatnya nyaman dan nggak banyak orang."

"Di mana?"

"Di sini."

"Gym di dekat apart kamu selalu penuh, kan? Arsya sering ngeluh soalnya."

Nazira mengangguk setuju. Dia dan Miwa malas berolahraga karena tempat fitness yang menjadi salah satu fasilitas apartemen mereka terlalu banyak orang yang datang dari hari jumat hingga minggu dan dibuka untuk umum, keduanya nggak merasa nyaman.

"Enak," Nazira mengunyah ayam yang terasa juicy di mulutnya, rasa bawang putih dicampur sambal buatan Rendi benar-benar cocok di lidahnya. "Enak banget, Kak." Pujinya lagi.

Rendi tersenyum bangga. "Syukurlah kamu suka," tangan laki-laki itu mengusap pipinya pelan. "Aku cuma masak masakan sederhana, Ziya. Kalau kamu minta aneh-aneh, ya bisa diusahakan tapi nggak bisa menjamin rasanya"

Kening Nazira mengernyit. "Aku bahkan belum minta apapun."

Rendi terus menatapnya. "Jangan sungkan buat meminta. Orang lain gampang banget minta tolong sama aku," pemuda itu melanjutkan makannya.

Nazira menegang. "Aku jarang minta tolong karena aku nggak mau Kak Rendi menganggap membantuku jadi sebuah pekerjaan."

"Pekerjaan kalau yang meminta Keluarga Boureen atau jajaran Direksi. Kalau kamu, tentu beda."

Crush | ✓Where stories live. Discover now