💍03

7.7K 721 72
                                    

"Ya ampun, Hujan. Lama banget gak ketemu." ibu mertuanya baru saja memasuki rumah, tetapi Hujan sudah dibawa ke pelukan wanita itu.

Hujan balas memeluknya senyumnya tak pernah absen menandakan betapa bahagianya akan kedatangan dua orang itu ke rumahnya.

"Apa kabar, Bu, Pak?" tanyanya usai meleraikan pelukan keduanya. Hujan membawa kedua mertuanya menuju ruang tamu, di mana sudah tersedia minuman andalan mereka yang Hujan persiapkan untuk menyambut keduanya.

"Baik. Suamimu mana?"

Hujan memainkan lidahnya dalam mulut. Awan sudah tau perihal kedua orang tuanya yang bertandang ke rumah mereka. Pesan lelaki itu tadi mengatakan bahwa dia sedang pergi bekerja. Memang benar, sekaligus Awan membawa serta Kia ke kantornya

"Jam segini Mas Awan masih kerja, Pa. Hari ini dia lembur." akunya mengikuti arahan yang Awan katakan.

"Kebiasaan banget anak kamu. Suka bener ninggalin istrinya di rumah." dumel Dya—ibu mertuanya yang saat ini menikmati kudapan manis buatan Hujan.

"Udahlah, Bu. Kalo Awan gak kerja, mau di kasih makan apa mantu kita." seloroh Adijaya pun ikut menyeruput kopi pahitnya.

Hujan tersenyum simpul, lalu perhatiannya teralih saat ponselnya bergetar. Ternyata ada pesan dari sang suami.

|kalo ibu sama bapak udah balik
Kamu jangan lupa ke kantor, ya.
Minta tolong juga bawain Kia
Makanan. Dia pengen makan
masakan kamu.

Hujan hanya membacanya tak ada waktu membalas ketika ibu mertuanya mengajaknya berbicara. Rasanya kurang etis kalau Hujan bermain ponsel.

"Belum ngisi, nak?" pertanyaan Dya bagai bom waktu untuk Hujan. Rasa-rasanya sudah tak terhitung pertanyaan itu terlontar, baik dari mertuanya, iparnya, dan ibunya sendiri.

"Belum di kasih amanah, Bu."

Bila sebelumnya Hujan akan menjawab 'Lagi usaha' maka kali ini dia ingin memilih jawaban berbeda. Takutnya, ibu mertuanya itu bosan mendengar jawaban sama di setiap bulan.

Tak lama terdengar helaan napas panjang dari bibir mertua perempuannya sebagai bentuk kekecewaan yang sekian kali.

"Pengen banget punya cucu dari Awan. Pasti anak-anaknya bakal lucu." timpal Dya menatap sendu kudapan di atas meja yang tidak menarik lagi perhatiannya.

Hujan menelan ludahnya kelu, seandainya ibunya Awan tau dia sudah memikiki calon cucu dua bulan ke depan entah apa reaksinya.

Menerima atau mungkin menolaknya. Namun melihat antusiasme Dya, sepertinya opsi pertama adalah jawaban. Mendadak Hujan gelisah. Bagaimana nasibnya ke depan.

Apakah masih menjadi menantu kesayangan?

Tak bisa Hujan tampis, ada kalanya sisi egois itu muncul. Di saat Awan memberikan perhatian pada Kia dia ingin perhatian itu beralih hanya tercurah kepada Hujan saja bukan wanita lain.

Nyatanya berbagi tak seindah di novel yang biasa dia baca.

"Sabar aja, Bu. Terpenting anak ama menantu kita sehat. Tinggal tunggu kapan pastinya brojol." sahut Adijaya. Dengan pikiran bijak yang selalu pria paruh baya itu berikan, terkadang membuat Hujan merasa kagum akan sosoknya.

Tetapi mendengar kalimat terakhirnya, muncul pendar sendu di wajahnya.

Mereka sehat, hanya sayang masalahnya terletak pada Awan. Lelaki itu yang tidak menginginkan anak darinya.

(,) sebelum (.)Där berättelser lever. Upptäck nu