💍06

7.9K 714 131
                                    

3 hari Hujan berdiam diri di rumah, kini kondisinya sudah lumayan membaik. Malah sekarang sudah bisa berkutat di dapur.

"Seneng liat Kak Hujan udah sehat gini." celetuk Kia muncul lengkap dengan cengirannya. Hujan terkekeh kemudian mematikan kompor begitu masakannya di rasa matang.

"Hari ini cuman tumis kangkung sama ayam rica-rica. Kakak masih agak puyeng." akunya.

"Woles, Kak. Pengen masak tapi masakan aku gak bakal seenak masakan Kak Hujan." timpal Kia gantian menuangkan sayur kangkung itu kedalam mangkuk sedangkan Hujan menyiapkan piring.

"Rain,"

"Aduh!" Kia mengaduh lantaran kaget dengan kehadiran tiba-tiba Awan diantara mereka. Dia tak sengaja menyentuh wajan panas menyebabkan kulit putihnya kini memerah.

"Astaga Kia!" seru Awan mendekati Kia yang saat ini cemberut.

"Mas Awan jangan muncul tiba-tiba dong. Gak enak tau kagetan gini." dumelnya sambil mengamati Awan yang tengah meniup luka melepuhnya.

"Rain, kenapa kamu biarin Kia masak? Kia itu agak ceroboh. Kalo gak diawasin bisa begini jadinya." Awan memanggil bibi untuk mengambilkan salep di kotak P3K.

Hujan tak menanggapi, sebaliknya ia berlari kecil menuju laci tv saat bibi tidak muncul juga.

"Nih Mas." Hujan menyodorkan salep yang langsung diterima Awan.

"Jangan marahin Kak Hujan, tadi Kia sendiri yang pengen bantu. Kasian, Kak Hujan masih pusing." tutur Kia membela Hujan di mana saat ini wanita itu hanya diam mengamati aktivitas Awan.

"Harusnya kalo masih gak enak badan, gak usah dipaksain. Selain rugiin diri sendiri juga bisa rugiin orang lain."

Hujan menunduk mendengar kalimat menusuk Awan. Kedua tangannya memilin sisi bajunya.

"Rain, kamu dengar Mas tidak?" sahut Awan begitu tak mendapati tanggapan apa-apa dari lawan bicaranya.

"Denger. Aku selalu dengerin Mas, tapi Mas pernah tidak sekali aja mau ngertiin aku? Kia luka kecil aku yang salah. Coba Mas ingat, dulu tangan aku pernah kena minyak, pernah juga ke gores pisau. Tapi diantara itu apa pernah Mas mau berinisiatif obatin aku? Pernah khawatirin aku? Gak Mas. Mas hanya ngomel setelah itu pergi."

"Rain!"

Hujan tersentak kemudian melirik sekitarnya. Ternyata tadi itu hanya angannya semata. Andai dia mempunyai keberanian besar.

"Maaf, Mas. Aku ke kamar dulu." usai mengatakan itu Hujan berlalu. Rasanya kepalanya bertambah pening. Memang benar kata Awan seharusnya dia tak usah memaksakan diri. Tetapi berdiam diri di dalam kamar juga cukup membuat Hujan jenuh.

Awan menghela napas kemudian menoleh ke arah Kia yang sekarang ini menggenggam telapak tangannya.

"Mas, jangan salahin Kak Hujan. Kasian dia masih sakit."

Awan memejamkan mata lalu melepaskan genggaman Kia.

"Kamu makan dulu, ya. Mas susulin Rain di kamar."

Kia mengangguk, tetapi Awan tidak langsung pergi melainkan mengambil piring dan mengisinya nasi beserta lauk.

Setelahnya ia berlalu menuju kamar Hujan.

Karena pintu kamar masih terbuka, Awan masuk tanpa langsung mengetuk dan mendapati eksistensi Hujan sedang duduk dekat jendela lengkap dengan buku dan pulpen.

"Makan dulu. Abis itu minum obat." Awan menaruh piring itu di hadapan Hujan. Tetapi istrinya malah masih sibuk dengan coretannya.

"Seharusnya kalo belum sehat, gak usah maksa kerja. Kamu masih gampang capek." kalimat Awan kali ini menghentikan Hujan dari kegiatannya. Mendongak menatap wajah sang suami, Hujan tersenyum.

(,) sebelum (.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang