💍14

9.3K 908 73
                                    

Hujan menghembuskan napas panjang, menaruh nampan kecil di atas meja dia kembali meracik teh yang mana diperuntukkan untuk Awan.

Bukan tanpa sebab wajahnya menjadi masam, melainkan ini adalah gelas kelima yang Awan tolak dengan alasan yang tak masuk logika.

"Tehnya terlalu panas."

"Tehnya terlalu dingin."

"Gulanya terlalu banyak."

"Kenapa hambar sekali?"

"Buatkan aku yang baru, warna tehnya terlalu pekat."

Mengingatnya Hujan ingin marah namun tidak berani mengingat posisi Awan sebagai bosnya di perusahaan ini.

"Ditolak lagi, Jan?" sahut Bintang sambil menaruh ember berisi air pel di samping kulkas.

Sambil menaruh gula secukupnya, Hujan mengangguk lesu. "Kalo ditolak lagi, udah gelas keenam. Dan gue bakalan nyerah." katanya gusar.

"Heran banget pak Awan. Mukanya emang judes tapi gak nyangka dia nyebelin gitu. Kek punya dendam kesumat aja ama lo." ujar Bintang yang tanpa menyadari perkataannya menghentikan sejenak kegiatan tangan Hujan yang sedang mengaduk teh untuk Awan.

Pandangannya menurun kemudian melanjutkan kembali aktivitasnya.

"Gue ke ruangan pak Awan dulu, ya." pamitnya yang diangguki Bintang.

Dalam perjalanannya, Hujan tak pernah berhenti mengingat perkataan Bintang beberapa saat lalu. Benarkah Awan melakukan ini karena memiliki dendam kepadanya? Tapi apa?

Saking asiknya bermain dengan pikirannya, Hujan tidak sadar bahwa dia sudah sampai di depan pintu kebesaran Awan. Memandang sejenak daun pintu itu, Hujan menarik napas dalam.

Satu tangannya terulur mengetuk pintu dan seruan Awan dibaliknya membalas ketukan Hujan.

Membukanya perlahan, Hujan masih mendapati posisi Awan yang sama seperti beberapa saat lalu. Pandangannya lalu jatuh pada sosok lain yang ada di ruangan pria itu.

"Mba Hujan, tolong sekalian buatin saya kopi, ya. Saya lupa kasih tau Mba tadi." kata Dian usai menerima dokumen yang baru saja Awan tandatangani.

Diam-diam Hujan membuang napas pendek, kepalanya mengangguk sembari memaksa tersenyum kecil.

"Ini tehnya, Pak." Hujan menaruh cangkir putih itu di atas meja Awan yang tidak ada dokumen apapun.

Tanpa melirik Hujan, Awan memgambil teh buatan Hujan kemudian menyeruputnya pelan.

Hujan menggigit bibir dalamnya dan ketika melihat kepala Awan mengangguk dia akhirnya bisa bernapas lega. Ia pamit undur dari untuk membuatkan pesanan Dian.

"Tunggu, bawa kembali sekalian," Awan menunjuk gelas yang mana isinya baru sedikit tersisa. Hujan menatapnya bingung. "Saya sudah tidak ingin minum teh lagi. Silakan bawa."

Hujan meremat nampan di tangannya lalu dengan berat hati mengambil cangkir teh Awan. Tanpa kata Hujan berlalu dari sana dengan perasaan campur aduk.

Di tengah jalan ia berpapasan dengan Khatulistiwa, penampilan pria itu sudah tidak serapi pagi tadi. Tetapi ketampanannya tak luntur.

"Hai." sapanya yang Hujan balas dengan senyum simpulnya.

"Aku buatin kopi?" tawarnya menyadari bahwa wajah Khatulistiwa sedikit lelah.

"Kalo gak ngerepotin," katanya mengaruk tengkuknya. "Eh, gak usah deh. Nanti aku ke dapur sendiri." tambah Khatulistiwa cepat.

"Gak papa. Ini juga sekalian mau nganterin kopi mbak Dian. Bang Katu tunggu ya." katanya tersenyum sekilas lalu berlalu dari sana meninggalkan Khatulistiwa yang mengamati punggungnya hingga hilang di belokan.

(,) sebelum (.)Where stories live. Discover now