💍21

9.2K 862 129
                                    

Semuanya menunggu dengan gelisah di depan pintu tempat ruangan Glen dirawat. Terlebih Hujan yang sedari tadi menggigit kukunya, kebiasannya ketika sedang kalut.

"Jangan digigit." tegur Khatulistiwa tidak tahan melihat tingkah Hujan yang menurutnya itu adalah hal tidak baik bagi kesehatan wanita itu. Tangannya cekatan menahan pergelangan Hujan agar berhenti.

"Kok lama banget, ya? Apa ada yang serius?" tanya Hujan tanpa menyembunyikan nada khawatirnya. Di samping memikirkan kondisi Glen, juga teringat akan janji Hujan yang terlanjur ia katakan pada Awan.

Kondisi Glen adalah penentu nasibnya. Hujan tidak ingin terlibat apapun yang berhubungan dengan mantan suaminya tersebut. Sebab, melupakan hal apa yang terjadi selama dua tahunan lalu bukanlah hal mudah.

Hujan beberapa kali jatuh bahkan ketika ketukan palu perceraian terdengar, nasibnya masihlah jauh dari kata baik.

Berada di posisi sekarang, bukanlah perkara gampang. Dia tidak ingin masalah Glen menciptakan interaksi antara dirinya dan Awan. Terlebih Khatulistiwa tidak tau siapa Awan dan apa peran pria itu dalam hidupnya di masa lalu.

"Yakin sama aku. Glen baik-baik aja kok." tak ada kata yang terucap selain penyemangat untuk sang kekasih. Khatulistiwa mengerti bagaimana gelisahnya Hujan sekarang ini. Mungkin kejadian ini adalah hal pertama buatnya hingga Hujan begitu kalut.

Hujan hanya mengangguk, lalu atensinya teralih saat pintu itu terbuka menampilkan sosok dokter pria muda yang keluar sambil membuka maskernya. Bila tidak salah ingat, dokter ini adalah teman karib Awan sebab semasa menjadi istri Awan, pria inilah yang datang memeriksa saat Awan ataupun dirinya jatuh sakit dulu.

"Glen baik-baik saja. Tapi, ada beberapa bagian tubuhnya yang memar kemungkinan bakal membengkak. Saya tidak bisa memberikan sembarangan obat mengingat umurnya masih balita. Jadi, saya hanya akan memberikan salep serta sirup sebagai keringannya dan juga perawatan intensif sebab Glen memiliki imun tubuh yang sangat lemah." jelasnya menatap Hujan lamat.

Dalam hati sang dokter muda tersebut mengucapkan beribu maaf. Bahkan sumpah dokter yang terucap 3 tahun lalu sungguh menjadikannya pribadi yang amat berdosa. Namun di sisi lain, ada Awan di mana notabenya adalah teman yang sering memberikan bantuan kala dirinya susah dulu. Bahkan gelar dokter yang ia dapatkan ada peran Awan yang menurutnya teramat penting.

"Kalau begitu saya pamit dulu." ujarnya berlalu dari sana meninggalkan Hujan beserta Khatulistiwa yang sekarang ini saling pandang.

Tak lama sosok Awan nampak berjalan menuju ke ruangan Glen. Aura lelaki itu tidak bisa ditebak bahkan Hujan tanpa sadar meraih ujung baju Khatulistiwa dan meremasnya.

Tibanya di hadapan kedua orang itu, Awan menyeringai samar. "Saya harap, Anda bisa memegang kata-kata Anda. Putra saya akan menjadi tanggung jawab Anda sampai kesehatannya pulih."

Khatulistiwa menatap Hujan, lalu menggenggam tangannya untuk menyalurkan kekuatan. Dan semua itu tak luput dari manik Awan yang mengamati keduanya. Dengusan samar keluar dari Awan.

"Jika boleh, saya saja yang menggantikan Rain, Pak."

Atas ungkapannya tersebut, Hujan menoleh cepat lalu memberikan gelengan tanda dia menolak usulan Khatulistiwa. Pun Awan yang tidak bisa menyembunyikan wajah kesalnya.

"Siapa yang berbuat maka dia jugalah yang harus bertanggung jawab. Saya tidak membutuhkan bantuan Anda, melainkan kekasih Anda." ujar Awan dengan memberikan sedikit penekanan pada setiap kalimatnya.

Dia tidak akan membiarkan Hujan lolos begitu saja.

"Tapi...."

"Bang Katu, biar aku aja. Aku memang harus tanggung jawab. Gak bakal lama kok, hanya sampai anak pak Awan sembuh." sela Hujan mengulas senyum tipis guna meyakinkan Khatulistiwa bahwa dia bisa melewatinya.

Khatulistiwa menatapnya lamat, meski berag kepalanya tetap mengangguk.

"Aku bakal sering kunjungin kamu." bisik Khatulistiwa yang Hujan tanggapi dengan anggukan kecil.

💍💍💍

Sesuai apa yang sudah disepakati, maka di sinilah Hujan berada. Kedua netranya memindai rumah yang sayangnya memiliki kenangan cukup berarti bagi Hujan.

Tak ada yang berubah bahkan tata letak barangpun masih sama. Berjalan semakin masuk, Hujan mengamati ruang tengah, benar-benar tidak ada yang berubah.

Entah apa yang mendorongnya, Hujan membawa kakinya menuju halaman belakang. Tempat di mana dia menghabiskan waktu kala merasa bosan dulu.

Dan apa yang dia dapati justru semakin membuatnya terkejut. Bagaimana tidak, ladang kecil yang dulunya sering Hujan gunakan untuk menanam bunga kini masih terjaga.

Bahkan Hujan yakin, bunga-bunga mawar bercampur lily—favoritnya yang tumbuh bermekaran tersebut adalah tanamannya sebab ketika Hujan meninggalkan rumah ini, mereka masih tunas.

Tapi, tidak mungkin juga Awan mau merawat bunga-bunganya mengingat pria itu kurang menyukai bunga.

Tidak. Mungkin saja itu hanya sebuah kebetulan.

Mensugesti dirinya, Hujan kembali masuk dan sosok Awan yang berjalan sambil menelepon menyambutnya. Pria itu juga melihatnya, dan segera dia mematikan sambungan.

"Kamar Glen ada di sana. Mulai sekarang, kamu yang akan menemaninya tidur. Kesehatan Glen sepenuhnya akan menjadi tanggung jawabmu." ucap Awan yang berhasil menciptakan gelombang halus di kening Hujan.

Dia merasa Awan seakan ingin menempatkannya selalu berada di sisi anaknya. Padahal, dibanding dirinya peran Awan sebagai ayahnya juga penting.

"Pergilah." usirnya menatap Hujan yang diam namun tetap menggerakan tungkai kakinya menuju kamar ber-cat abu-abu hang diyakininya adalah kamar anak Awan.

Hujan harus fokus pada kesehatan Glen. Semakin cepat semakin baik pula Hujan keluar dari rumah ini. Karena sejujurnya, Hujan merasa tidak nyaman berada di tempat yang seharusnya bukan ranahnya lagi.

Selepas Hujan berlalu, Awan memasukan kedua tangannya dalam saku celana. Netranya terus menghunus punggung kecil itu sampai hilang dibalik pintu kamar Glen.

Tak lama gawai dalam sakunya bergetar. Awan merogohnya lalu melihat sang penelpon.

"Lakukan apa yang saya perintahkan sebelumnya. Buat semua pekerjaan di handle oleh Khatulistiwa. Bila perlu, berikan lembur tetapi dengan iming-iming bonus besar," katanya lalu dibalas oleh orang yang berada di sebrang sana.

"Pastikan dia sibuk hingga lupa untuk pulang." tambah Awan mematikan panggilan secara sepihak. Kembali dia mengamati pintu kamar sang anak, sebelum kemudian berlalu menuju lantai dua tempat kamarnya berada.

💍💍💍

Monggo kata2 mutiaranya dikeluarkan ReLuvi.

Bagaimana untuk part ini?

Di mohon untuk tidak dibaca bagi kalian yang sedang berada di mood kurang bagus.

Next cepat?

Beri dukungan cerita ini dan share ke teman2 kalian.

Sampai jumpa di part selanjutnya.

Sayang ReLuvi😘😘

(,) sebelum (.)Where stories live. Discover now