💍27

8.3K 924 145
                                    

Hujan menatap rumah sederhana di depannya. Rumah yang ia cicil dari hasil tabungannya selama bekerja. Rumah yang akan menampungnya sekarang.

Tempat yang dipilihnya pun jauh dari perkotaan alias, Hujan berada di pinggir kota. Jauh dari jangkauan luar karena tempatnya yang terpencil.

Rumah yang ia tinggalkan di kota kelahirannya, Hujan putuskan untuk meninggalkannya. Bila suatu saat dia kembali ke sana, Hujan masih ada tempat untuk merehatkan badannya.

Melangkahkan kakinya perlahan masuk ke dalam rumah, Hujan menghempaskan badannya ke sofa reot yang mana tiap gerakannya akan menimbulkan derit.

Pandangannya menatap langit-langit rumah, ingatannya berputar pada peristiwa-peristiwa yang menimpanya kemarin.

Dalam pikirannya yang tidak pernah berhenti memikirkan Khatulistiwa, Hujan kadang bertanya. Benarkah keputusan sepihaknya ini sudah tepat?

Namun, mengingat kembali rekaman suara itu, Hujan jadi kembali memantapkan keputusannya ini. Bagi Hujan, semua memang harus berakhir.

"Kerja apa, ya?" gumamnya dengan satu tangan di atas dahi. Hujan memulai dari awal, di titik di mana ia harus kembali berjuang dari nol.

Tabungan yang dibawanya lambat laun akan habis. Jadi, Hujan harus memutar otak agar ada penghasilan tetap.

Karena tidak ada ide, Hujan memutuskan bangkit. Sebelum itu dia harus membereskan serta menyusun barang-barangnya.

Sedangkan di sisi lain, Khatulistiwa tak henti-hentinya memijit pelipisnya pertanda bahwa dia sangat stres.

Di depannya sudah ada sosok Bintang yang dijadwalkan pulang hari ini. Namun jauh dari itu Khatulistiwa ingin membahas hal penting.

"Kenapa rekaman percakapan bisa sampai ke Rain? Apa lo yang kirim?" tanyanya dengan nada menuduh. Sontak Bintang menggeleng ribut.

"Gak mungkin gue yang kirim. Buat apa?" kilahnya berussaha menyembunyikan getaran suaranya agar tetap stabil.

"Tapi waktu itu hanya kita berdua. Kalo bukan lo, terus siapa lagi?!" kali ini Khatulistiwa bertanya dengan nada tinggi. Bahkan Bintang dibuat terkejut sesaat.

"Gue cuman bantu lo nangkap sepupu gue, dan gue gak nyangka niat baik gue ini malah di salah pahami dan dimanfaatkan seseorang." Khatulistiwa menambahkan, bahkan ia enggan menatap Bintang yang sekarang ini memandangnya dengan tatapan memelas.

Meksi Bintang berkilah, Khatulistiwa teramat yakin bahwa rekaman yang dikirim di ponsel Hujan ada campur tangan wanita hamil tersebut. Entah apa tujuannya, yang pasti karena rekaman serta foto yang Hujan dapati di ponselnya, masa depan yang telah dirancang bersama hancur begitu saja.

"Katu, gue tau lo stres pernikahan lo batal,"

"Siapa bilang batal?" sela Khatulistiwa dengan tatapan berkilat tajam.

"Maksudnya, Hujan udah pergi. Dan posisinya sekarang ini kita belum tau." ralat Bintang pelan.

"Tidak ada yang batal. Pernikahan bakal terjadi sesuai tanggal yang ditentukan. Bila Rain pergi, gue akan tetap cari. Dia pergi dengan kesalahpahaman, tugas gue cari dia dan meluruskan kesalahpahaman yang diciptakan seseorang." tutur Khatulistiwa menatap Bintang sedikit sengit. Yang ditatap hanya menundukkan kepala sedang kedua jarinya saling memilin.

"Gue,"

"Gue harap ini adalah hari terakhir kita bertemu. Ayah bayi lo udah gue beri pelajaran, sekarang tugas gue udah selesai." usai mengatakan itu, Khatulistiwa beranjak meninggalkan ruangan Bintang. Menulikan telinga kala seruan wanita itu memanggilnya.

Bagi Khatulistiwa, semuanya sudah berakhir. Kini ia akan memberikan fokusnya secara penuh pada wanitanya yang sedang bersembunyi. Khatulistiwa akan menemukannya, dan pernikahan tetap akan terjadi bagaimanapun caranya.

Meninggalkan kekalutan yang Khatulistiwa alami, kita beralih pada pria yang sekarang ini menatap bangunan-bangunan tinggi melalui jendela kantornya.

Dialah Awan Ravastya, seorang duda beranak satu yang mana juga merupakan mantan suami Pelangi Hujan.

Satu tangannya masuk ke dalam saku celana, satunya lagi memegang puntung rokok. Benda nikotin tersebut, dihisapnya dalam sebelum menghembuskan asapnya ke udara.

"Tuan," salah seorang bawahannya masuk, sebelum itu dia mengetuk pintu terlebih dahulu.

Awan tak perlu menjawab panggilan itu, sebab tanpa diperintah, bawahannya itu akan melaporkan informasi.

"Ini mengenai mantan istri Anda. Jejak terakhir yang kami dapatkan adalah taxi yang ditumpanginya. Sejauh ini, hanya itu yang kami dapatkan." lapornya disertai kepala menunduk. Semakin dalam tundukannya kala dengusan keras terdengar dari sang atasan.

"Cari lagi. Kemana arah tujuan taxi itu membawa calon majikan kalian." katanya menghisap dalam benda di tangannya.

"Masalahnya, Tuan. Taxi itu berhenti di tengah jalan karena mogok. Nyonya akhirnya memilih menumpangi angkutan umum." tuturnya di mana kali ini berhasil membuat atensi Awan sepenuhnya tertuju padanya.

"Kalau begitu, matilah. Hidup pun kau tidak berguna."

Sang bawahan mendongak, ada riak terkejut dalam wajahnya sebelum jatuh bersimpuh memohon ampunan.

"Tuan, beri kami kesempatan lagi. Kami akan berusaha melacak keberadaan Nyonya. Seluruh kota akan kami telusuri." pintanya.

Awan melengos melihatnya, kaki panjangnya melangkah pada kursi kebesarannya dan mendaratkam bokongnya di sana. Ditatapnya sang bawahannya angkuh, dengan satu kaki naik bertumpu pada pahanya.

"Baiklah. Ku beri kalian kesempatan sekali lagi. Segera temukan dia sebelum orang lain menemukannya. Pergilah." tekannya yang segera dibalas anggukan cepat dari bawahannya.

Berlalunya bawahannya, Awan memijit pelipisnya.

Semua berantakan, tidak ada yang sesuai rencanya. Bagaimana bisa Awan sampai kecolongan. Pikirannya tak bisa menebak langkah apa yang Hujan ambil selanjutnya.

Seharusnya dari awal dia mengawasi gerak-gerik perempuan itu, kini jejaknya hilang bak ditelan bumi.

"Pelangi Hujan," Awan menggumamkan nama itu dalam satu tarikan napas. "Jangan menyesalinya bila suatu saat kamu berada dalam genggamanku. Hal yang tak ku lakukan di masa lalu, akan aku lakukan saat kamu berada dalam genggamanku. Tunggu saja."

Desisnya meremat puntung rokok yang masih menyala itu, seakan api yang ada di ujungnya tak memberikan efek apapun pada tangan Awan.

💍💍💍

Hayoloh, kalian dikelilingi dua pria.

Pada mihak di kubu siapa nih kira2?

Yg dukung Hujan pergi masih ada gak nih?

Atau kita perlama biar bang Katu dan Awan belingsatan?

Makasih ya untuk dukungan yang kalian beri buat cerita ini.
Pokoknya ramein terus.

Sampai jumpa di part selanjutnya.

Sayang ReLuvi banyak2😘😘

(,) sebelum (.)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora