💍30

8.2K 871 108
                                    

Genap sudah 8 bulan Hujan menikmati status barunya. Selama menjalani biduk rumahtangga yang kedua, semuanya berjalan baik. Tidak ada konflik yang bisa membuat keduanya berada pada hubungan yang renggang.

Kabar baiknya lagi dia tengah mengandung, yang mana usia kandungannya sudah memasuki bulan ke-6. Rasanya, Hujan tak bisa lagi mendeksprisikan kebahagiaannya. Impian keluarga lengkap telah ia dapatkan dari Khatulistiwa. Pria yang sekarang ini  sedang memeluknya.

"Dia kok bisa gerak-gerak sih, Yang? Bukannya di dalam sana sempit, ya?" pertanyaan Khatulistiwa tanpa melepas elusan pada perut Hujan, berhasil mengundang satu tawa lolos dari bibir sang istri.

"Kamu juga dulu waktu masih dalam perut pastu suka nendang. Bayi yang gerak dalam perut, itu pertanda kesehatannya baik. Bayi dalam keadaan sehat." paparnya sembari menyerahkan sepiring puding mangga pada Khatulistiwa.

"Emang gak sakit?" Khatulistiwa kembali bertanya di sela ia menikmati puding buah buatan Hujan.

"Ngilu sih, tapi aku senang kok. Jadi gak sabar dia lahir." akunya membuat Khatulistiwa tersenyum disela kegiatannya.

Kurang lengkap apalagi kebahagiaan Khatulistiwa selain melihat istri dan calon anaknya sehat di depan matanya. Dia tidak bisa menggambarkan bagaimana puing-puing kebahagiaan itu selalu menyeluap di dalam hatinya.

"Nonton yuk. Mumpung Abang ada libur." tawaran Khatulistiwa sejenak membuat Hujan berpikir. Tidak membutuhkan waktu lama dia memberikan jawaban melalui anggukan singkat.

Maka di sinilah keduanya berada. Sepasang pasutri itu nampak menikmati quality time dengan menonton lalu dilanjutkan dengan makan di sebuah cafe yang berada di mall.

"Jangan sedih gitu dong." hibur Hujan lantaran masih menangkap jejak murung di wajah Khatulistiwa. Tapi meski begitu Hujan masih menyempatkan senyum. Dirinya hanya gemas akan tingkah yang pria itu lakukan.

"Nyesel Abang nonton kalo akhirnya gak happy ending." ungkapnya menyeruput minuman alpukat dengan panjang.

Hujan cuman menggeleng, selama hamil Khatulistiwa yang mengalami morning sicknes. Mulai dari muntah, ngidam, sampai hormon juga mempengaruhi sang suami.

Bahkan saat kehamilannya memasuki bulan ke-3, Khatulistiwa pernah menangis saat dirinya sedang menonton acara lawak. Penyebabnya karena pelawak yang ada di depan tv terpeleset padahal itu hanyalah skenario yang sudah disusun oleh acara tv.

Keduanya fokus menikmati makanan yang sudah dihidangkan oleh pelayan. Namun tidak bertahan lama lantaran mereka kedatangan tamu.

"Boleh kami gabung?" suara berat itu menghentikan gerakan tangan Hujan yang sedang mengiris daging steak. Kepalanya terangkat, sosok Awan Ravastya bersama seorang wanita yang Hujan ingat adalah wanita yang sama saat Awan membawanya dulu ketika Hujan merawat Glen.

Tanisha.

"Selamat siang Pak Awan. Mari mari." Khatulistiwa mempersilahkan keduanya untuk duduk. Beruntung cafe yang mereka masuki tiap meja memiliki 4 kursi.

Awan mengulas senyum kemudian duduk tepat di depan Hujan. Sedangkan Tanisha berhadapan langsung bersama Khatulistiwa.

"Lama tidak bertemu," Awan membuka obrolan sedang maniknya mengamati bagaimana Hujan tetap melanjutkan makannya. Pipi berisi itu terus bergerak mengikuti irama kunyahannya, menjadi fokus tersendiri bagi Awan.

"Iya. Terakhir saat pernikahan kami." timpal Khatulistiwa merangkul bahu Hujan, ia seakan mengerti di mana tatapan mantan bos-nya itu terarah.

Awan mengulas senyum tipis, mengerti akan tingkah Khatulistiwa yang tanpa sungkan menunjukkan keposesifannya.

"Tanisha, perkenalkan. Dia adalah Khatulistiwa Galaxi, dan di sebelahnya Pelangi Hujan. Mantan istirku dulu yang sekarang menjadi istri dari Khatulistiwa." Awan beralih pada Tanisha yang sedari tadi jadi pengamat.

"Aah~ salam kenal. Namaku Tanisha." ucapnya sembari tak lupa bibir berpoles lipstik merah itu merekah membentuk senyum anggun di mata Hujan.

Sepasang pasutri itu kompak memgangguk, lalu setelahnya obrolan mengalir begitu saja. Ralat, hanya Khatulistiwa dan Awan. Sedangkan dua wanita lainnya memilih menjadi pendengar.

"Sudah berapa bulan?" Tanisha bertanya usai tak sengaja menangkap tingkah Hujan yang mengelus perut buncitnya. Pun perhatian dua lelaki tadi berpusat padanya.

"6 bulan." jawab Hujan ramah.

"Doakan saja semoga semuanya lancar. Istriku ini semenjak hamil tidak bisa diam. Tapi tingkah-tingkahnya itu membuatku merasa gemas." papar Khatulistiwa dengan nada menggebu bahkan Hujan harus memberikan senggolannya pada perut pria itu agar tidak berbicara terlalu jauh. Dan beruntung Khatulistiwa segera mengerti.

"Benarkah? Aku jadi ingin melihat tingkah-tingkahnya itu."

Di luar dugaan Awan turut menimpali. Hujan jadi merasa tidak nyaman, dia mencoba mengalihkan perhatiannya dengan terus fokus pada makanannya meski sesungguhnya dia tidak berselera lagi.

Suasana seketika berubah canggung, Hujan mencoba berdehem guna mengalihkan rasa canggung ini yang begitu terasa.

"Bang, aku ke toilet dulu. Mau pipis." bisik Hujan di kalimat terakhir. Semenjak usia kehamilannya yang ke-6, Hujan jadi sering buang air kecil.

"Aku temani."

Hujan segera memberikan gelengan, rasanya tidak enak meninggalkan tamu meski Hujan sendiri tidak menginginkan kehadiran mereka.

Selesai membuang hajatnya, Hujan mencuci tangannya pada wastafel. Ia begitu fokus sampai lampu kamar mandi tiba-tiba padam yang membuat sekitarnya gelap gulita. Hujan kontan panik, mematikan aliran air, tangannya meraba dinding guna keluar dari sana.

Namun hal lain kembali menyambutnya, Hujan membeku saat ada sepasang tangan perlahan melingkari perut buncitnya di susul embusan napas berat yang menggelitik di lehernya.

"Hai, Rain."

Sapaan itu segera menyadarkan Hujan. Tubuhnya memberikan rontaan tidak lupa juga Hujan bersuara keras guna memberitahukan orang-orang bahwa dirinya berada dalam bahaya.

"Sttt~ jangan teriak atau dia akan kenapa-napa." dalam kegelapan, Hujan merasakan telapak tangan itu mendarat diperutnya. Memberikan sinyal peringatan pada otaknya bahwa sekarang ini Hujan terjebak.

"Bang Katu." batin Hujan memanggil sang suami. Berharap Khatulistiwa menyadari semuanya.

"Aku sudah cukup sabar selama 8 bulan ini. Sekarang waktunya kamu pulang. Ke rumah kita."

Hujan menggeleng keras, demi apapun dia teramat takut akan sosok yang tengah mengendus lehernya tersebut. Ialah Awan Ravastya.

"Tolong, lepasin saya." pintanya dengan gestur memberikan penolakan akan apa yang Awan lakukan pada tubuhnya. Tindakannya cukup membuat Awan menghentikan kegiatannya.

"Lepasin kamu? Tapi selama 8 bulan ini aku udah lepasin kamu dengan bebas. Tidak salahkan kalau sudah waktunya aku menjemputmu?" paparnya menumpukan dagunya di bahu tak seberapa Hujan.

"Kamu gila, Awan. Lepaskan saya atau saya akan mengadukan perbuatanmu pada suamiku." tekan Hujan mencoba memberikan ancaman. Namun tanpa diduga hal itu malah membuat Awan terkekeh gemas.

"Silahkan saja. Aku akan melihat sejauh mana Khatulistiwa mengambilmu dariku." setelah mengatakan hal tersebut, Awan memukul tengkuk Hujan yang mengenai titik sarafnya. Awan tidak memusingkan.

"Glen, Papa akan bawa mamamu kembali."

💍💍💍

Kabur gak sih akuh yang udah buat kekacauan ini?

Gimana untuk part 30 ini.

Moga gak bosan yaa nunggu upadetan cerita ini.

Kalian berhak ngomeli Arrinda yang belakangan ini sibuk dengan dunia nyata.

Sampai jumpa di part selanjutnya.

Sayang ReLuvi Banyak2😘😘

(,) sebelum (.)Where stories live. Discover now