💍32

9.2K 765 93
                                    

Hujan tidak tau sudah berapa lama terkurung, yang pasti ruangan yang Awan gunakan untuk mengurungnya tidak ada pencahayaan dari luar selain mengandalkan lampu. Dia tidak tau kapan datangnya siang dan kapan datangnya malam.

Hujan sudah lelah menangis, juga sudah lelah memohon. Kini yang ia lakukan hanya meringkuk dengan pikiran kosong.

Ceklek!

Mendengar suara pintu dibuka secara spontanitas tubuhnya bergetar ketakutan. Hujan meremat sprei motif bunga lily itu kuat, derap langkah kaki yang kian mendekat semakin membuat Hujan merasakan degup jantungnya berdetak cepat.

"Rain..."

"Bang Katu," nama itu meluncur dari bibirnya. Bukan hanya karena Hujan merindukan sosoknya, tetapi suara berat itu yang telah menyebutkan namanya beberapa detik lalu.

Ilusi kah?

"Rain, ini Abang."

Hujan cepat-cepat berbalik, maniknya membola saat mendapati eksistensi suaminya berdiri menatapnya dari pinggir kasur.

"Bang Katu!" Hujan bangkit lalu mendekati Khatulistiwa. Namun saat hendak menyentuhnya, sosok sang suami justru menghilang pun pintu yang tadi terbuka sudah tertutup rapat.

"Bang Katu?" Hujan memanggil dengan nada bingung, dan tidak ada sahutan.

"Bang Katu...." lirihnya saat menyadari bahwa beberapa saat lalu adalah khayalannya saja. Tubuhnya bersandar lesu pada dashboard, kembali Hujan merenung hingga tidak menyadari bahwa ada seseorang yang kini berjalan mendekatinya.

"Rain,"

Hujan tidak menyahut lantaran tau siapa pemilik suara itu.

"Waktunya makan." katanya duduk di pinggir kasur sambil tak lupa mengelus kepala Hujan penuh kelembutan.

"Kamu harus makan, kalo tidak kasian anak dalam perut kamu."

Kali ini Hujan memberi respon dengan menatap perutnya. Benar, dia harus makan agar buah hatinya dan Khatulistiwa bisa terjaga nutrisinya. Meski enggan, Hujan meraih piring yang dibawa Awan lalu mulai memakan makanannya walau tidak berselera.

Ruangan itu hening, hanya dentingan sendok yang sesekali bertabrakan dengan permukaan piring terdengar. Setelah berhasil menandaskan makanannya, Hujan menatap Awan yang sekarang sedang menyodorkan air putih kepadanya. Ragu-ragu Hujan menerimanya, pasalnya selama ini Hujan hanya dilayani oleh pembantu sedangkan Awan jarang berkunjung.

"Tidurlah."

Bagai terhipnotis, Hujan menurutinya diikuti matanya yang mulai memberat. 5 menit kemudian Hujan terbang ke alam mimpi, meninggalkan Awan yang masih betah pada posisinya seraya menatap wajah tidur mantan istrinya.

Awan tersenyum, dengan gerakan ringan dia menyentuh permukaan wajah Hujan. Pelan-pelan tangannya turun pada kancing dress Hujan, jari-jarinya menari di sana di susul membuka satu persatu kancing tersebut.

Awan tertawa kecil, bila ada yang melihat tindakannya pastilah mereka akan menganggap dirinya memperkosa Hujan.

Kancing terakhir telah berhasil Awan buka, tubuh bagian atas Hujan sudah terekspos saat Awan menurunkan dress-nya, meski masih dihalangi oleh benda berwarna putih, tetapi Awan tidak memusingkan. Toh, sebentar lagi Awan akan membukanya.

Dengan satu tarikan, Awan menarik dress Hujan hingga terlepas dari badan mungilnya. Awan termangu melihat tubuh yang nyaris telanjang itu benar-benar di luar ekpetasinya meski perutnya membuncit.

Khatulistiwa benar, Hujan bertambah menggemaskan ketika dirinya hamil.

"Kalau tau kamu semenggemaskan ini, Mas hamilin kamu aja dari dulu." monolognya dengan perasaan menyesal. Awan menggelengkan kepalanya, tidak ada waktu untuk menyesali segalanya.

"Sebenarnya aku tidak menyukai ini." tangan Awan bergerak mengelus perut Hujan, di sana tumbuh benih Khatulistiwa yang 3 bulan lagi akan lahir ke dunia. Sayangnya Awan tidak bisa mengambil tindakan lantaran mengaborsi di saat sudah memasuki hamil tua, dapat beresiko tinggi bagi sang ibu. Dan Awan tidak ingin sesuatu terjadi pada Hujan.

"Nanti setelah kamu lahir, aku buang kamu saja, ya. Hanya Glen yang bisa menjadi ibu dari Rain." bisik Awan sedikit menyentil perut Hujan lantaran merasakan tendangannya dari sana.

Setelahnya Awan kembali melanjutkan kegiatannya. Kegiatan yang biasa ia lakukan bila Hujan sedang tidur lelap seperti sekarang.

Licik?

Tentu saja tidak, Awan hanya tidak ingin menambah beban pikiran Hujan dengan berterus terang tentang apa yang terjadi selama dirinya berada dalam kurungan Awan.

Di sisi lain, Khatulistiwa sudah seperti orang gila yang belum menyerah mencari keberadaan istrinya. Penampilannya awut-awutan, rambut yang biasanya tertata rapi kini berantakan seakan tidak pernah dirawat oleh sang pemilik.

Awan sangat bermain bersih, bahkan demi berjaga-jaga cincin pernikahan mereka Awan lepaskan. Khatulistiwa mengetahuinya saat ingin melacak Hujan. Bukan cuman itu saja, Awan diketahui sudah tidak menempati rumahnya terhitung dia membawa lari sang istri.

"Makan dulu gih." Sio rekan kerja di dunia hitamnya itu datang membawan sepiring nasi beserta lauk pauk. Khatulistiwa meliriknya tanpa minat, netranya kembali ia fokuskan pada layar monitor di hadapannya, sekarang ini Khatulistiwa lagi memantau CCTV yang tersebar di seluruh kota.

"Makan abis itun kita beraksi." Sio berujar dan kali ini berhasil menarik minat Khatulistiwa untuk menatapnya penuh harap.

"Lo udah ada dapet clue?" tanyanya namun Sio malah memberikan gelengan.

"Gue belum dapat info soal istri lo, tapi gue dapat info lain."

Khatulistiwa menghembuskan napas panjang, kembali dia memberikan perhatiannya pada layar di depan. Kantong mata serta wajah kunyu cukup menggambarkan bagaimana pria itu tidak tidur teratur selama 5 hari ini.

"Anak Awan Ravastya. Glen,"

Tubuh Khatulistiwa menegak sempurna, kedua tangannya tanpa sadar mengepal seiras dengan satu sudut bibirnya terangkat. "Glen, anak semata wayang Awan. Sepertinya bermain-main dengan anak kecil cukup menarik." bila Awan ingin bermain, maka Khatulistiwa sama. Bedanya kali ini Khatulistiwa akan menggunakan Glen.

Sio tak menanggapi selain mendorong piring ke arah Khatulistiwa. Sahabatnya itu malah mendelik kepadanya.

"Lo butuh tenaga buat hadapin Awan. Kali ini yang kita hadapi bukan orang sembarangan, sekali salah melangkah bukan hanya lo yang akan terlibat masalah tapi istri dan anak kalian juga." ujar Sio bangkit meninggalkan Khatulistiwa yang sekarang termenung menatap kepergian Sio.

Sio benar, untuk menghadapi Awan maka Khatulistiwa butuh asupan energi. Seperti yang dia katakan beberapa saat lalu, yang mereka hadapi kali ini bukanlah orang sembarangan. Awan adalah orang licik dan licin, salah mengambil langkah Khatulistiwa bisa jatuh.

Akhirnya dengan perasaan hambar, Khatulistiwa meraih piring berisi hasil masakan Sio. Meski tidak berselera tetapi mengingat bahwa dia akan berjuang membawa istri dan calon anaknya pulang, maka Khatulistiwa harus mengumpulkan tenaga ekstra.

"Tunggu aku, Rain. Bersabarlah." gumamnya mengusap sudut matanya yang berair. Selalu seperti ini bila Khatulistiwa sendiri, dirinya selalu menilai ketidakbecusannya dalam melindungi keluarga kecilnya. Andai waktu bisa diputar, Khatulistiwa lebih memilih untuk terus di sisi Hujan saat itu, bila perlu dia akan bersikeras menemaninya.

💍💍💍

Cek cek cek

Gimana kabar kalian yang nunggin cerita ini update?

Untuk part ini kalian lebih gemas ke siapa?

Makasih ya yg udah selalu dukung cerita ini, meski dengan alur yang lambat.

Sampai jumpa di part selanjutnya.

Sayang ReLuvi banyak2😘😘

(,) sebelum (.)Where stories live. Discover now