💍17

9.8K 992 145
                                    

Niat Hujan mengundurkan diri tentulah membuat Bintang terkejut. Selama bekerja dengan Hujan setahun belakangan ini, tak ada yang aneh atau membuat Hujan tidak nyaman dengan lingkungan pekerjaannya.

Malah Hujan pernah gamblang mengatakan bahwa dia tidak ingin keluar sebab Zendar cukup membuatnya nyaman berada di sana.

Lalu hari ini, tak ada tak ada Hujan, teman seperjuangan itu malah mengajukan surat resign.

"Oengen ganti suasana aja. Keluar dari sini gue kerja jadi asisten barista di cafe milik Bang Katu." ungkapnya menjadikan keterkejutan Bintang kian bertambah.

"O-Oh gitu. Yaah, gak ada teman dong gue. Tega lu." Bintang mendorong kecil bahu Hujan, raut wajahnya tak bisa disembunyikan.

"Maaf, ya. Gue mau berkembang dulu. Nanti weekend kita ketemu." usulan Hujan langsung disetujui Bintang.

Kedua perempuan itu menghabiskan waktu bercerita sebelum Hujan menerima tanda tangan persetejuan dari atasan atau pendiri Zendar. Meski Awan sudah mengakuisisi Zendar, tetapi hak pendiri Zendar masihlah orang yang sama. Jadilah Hujan mengajukan surat pengunduran diri dari pendiri Zendar, di banding Awan karena Hujan memiliki firasat Awan akan menyusahkan niatnya ini.

Dan beruntung saja semua terlaksana dengan lancar. Hujan menghela napas melihat pesangonnya, di satu sisi dia tidak ingin meninggalkan tempat ini, namun di satu sisi Hujan harus melakukannya.

Hanya ini satu-satunya cara agar tidak terlihat di sekitar Awan.

Dengan hati setengah lapang, Hujan berjalan keluar sambil mengotak-atik ponselnya. Namun Hujan harus menghentikan kegiatannya kala seorang balita menghadang jalannya.

Hujan mengerjap lalu mengaruk pelipisnya. Netranya mulai berpendar mencari orang tua si anak, namun tak Hujan temukan. Sekarang sedang jam masuk.

Tidak ada pilihan lain, Hujan menggendong anak kecil tersebut. Dalam hati dia merasa tak asing dengan struktur wajah sang anak yang mana mengingatkannya pada seseorang. Hujan juga merasa pernah menemuinya.

"Appa, Appa." racau anak kecil tersebut yang membuat Hujan bingung.

"Papa ya? Duh, tante gak tau." Hujan tidak tau ingin menanggapi seperti apa. Menebak di mana orang tua si anak dan malah tidak menyadari anaknya hilang.

"Glen!" suara berat mengalihkan atensi Hujan yang sebelumnya sibuk mencari-cari seseorang.

Melihat siapa yang datang menghampirinya dengan langkah lebar, Hujan kontan sadar bahwa yang dirinya gendong adalah putri Awan Ravastya.

Awan segera mengambil alih Glen dari gendongan Hujan.

"Appa!"

"Iya, maafin Papa ya." ujar Awan mencium wajah sang anak berkali-kali. Tadi Awan meninggalkan Glen dalam mobil untuk menerima telepon. Tetapi dia malah ceroboh membiarkan pintu terbuka. Dia terpaksa keluar dari mobil menerima telepon sebab Glen cukup rewel bila melihatnya menggunakan benda elektronik tersebut.

Beralih ke arah Hujan, Awan memindai penampilan wanita itu yang hanya mengenakan kaus biasa tanpa ada seragam OG yang melekat tiap harinya.

"Ooh, baguslah bila kamu jadi keluar. Saya juga kebetulan sudah menemukan pengganti posisi OG."

Sindiran Awan tak Hujan hiraukan selain tersenyum tipis lalu berlalu pergi dari sana.

"Ama!" seruan Glen disertai tarikan kuatnya pada lengan baju Hujan, menghentikan langkahnya.

Hujan meringis, terlebih tatapan Awan yang berubah dingin. Bisa dipastikan bahwa kebencian Awan semakin meningkat.

"Maaf, tante harus pulang. Dadah!" Hujan melambai dan mengabaikan rengekan bocah itu yang memanggilnya mama.

(,) sebelum (.)Where stories live. Discover now