DUA PULUH TUJUH

16.1K 2K 69
                                    

≪•◦ HAPPY READING ◦•≫

Vote! Vote! Vote!

"Ini semua bukti bahwa putraku tidak bersalah," ucap Stef pada dua orang didepannya.

"Aku harap kalian bisa menerima itu," timpal Axvel.

Azura mengambil dokumen yang diatas meja, lalu membukanya. Ia meneliti satu persatu bukti dengan raut wajah datar.

"Jika memang ini benar kenapa tak ada klarifikasi apapun waktu itu?" Pikir Azura, ia masih tak terima.

"Kami sudah. Namun, hanya pada keluarga Tama, dan pihak sekolah saja. Dan membuat oknum oknum yang sebenarnya pelaku mendapatkan ganjarannya," balas Stef.

"Maksudnya?" Tanya Axvel.

"Intinya, Arxel tak bersalah. Untuk persolan tentang Tama Adinata, putraku dijebak. Orang lain yang memasukkan nya dan mengatakan bahwa putraku yang memasukkannya. Aku harap kalian memaafkan putraku dan berkenan menjenguk putraku," ucap Stef diakhiri lirihan.

"Arxel sakit?" Tanya Azura.

"Kakak ku mengidap bipolar, ia juga ketergantungan obat penenang. Aku harap kalian bisa menjenguknya, dan memaafkan kakakku. Dia selalu merasa bersalah, akan tuduhan yang tak benar bahwa dia seorang pembunuh. Aku mohon," Axvel berucap tulus, ia melakukan ini demi kesembuhan kakaknya.

"Akan kami pikirkan nanti, terimakasih telah mengundang kami, permisi," Azura menarik tangan adiknya sembari membawa dokumen berisi bukti tanpa persetujuan Stef maupun Axvel.

"Ayah, bagaimana dengan Lio?" Tanya Axvel pada Stef sepeninggalan Azura dan Melvin.

Stef memijat pelipisnya pening, permasalahan Lio yang melarang keras Sam bertemu dengan Arxel membuatnya benar-benar pusing.

Ia memang tak ingin putra sulungnya terus-menerus tersiksa karena jauh dari Sam. Namun di satu sisi ia juga tak bisa menentang putra bungsunya yang begitu menjaga Sam agar tak bertemu Arxel.

"Pokoknya ayah harus bikin Lio luluh agar Sam dibolehin ketemu kak Arxel, ayah mau semuanya semakin runyam?"

"Lihat nanti okey?"

[SAMUDRA]

Beberapa saat kemudian, Stef dan Axvel sudah berada di ruang rawat Arxel. Mereka berdua berusaha menahan Arxel yang ingin keluar dari ruangan.

Axvel merutuki kebodohan ayahnya yang keceplosan mengatakan bahwa Sam dirawat di rumah sakit yang sama. Ya auto belingsetan si Arxel mau ketemu Sam.

"Kak Arxel tenang, Lio ngga akan izinin kakak ketemu Sam," ucap Axvel yang mendapat tatapan tajam dari Stef.

"K-KENAPA? APAKAH LIO MEMBENCI KU?" Arxel menatap Axvel dan Stef penuh tanda tanya.

"Tidak, Lio sangat menyayangi mu. Ayah mohon kamu tenang."

"LEPAS SIALAN!" Stef dan Axvel sedikit terdorong, pegangan mereka pada Arxel terlepas.

Arxel buru-buru turun dari brankar ingin segera menemui Sam. Namun lagi-lagi di cegah oleh dua orang yang selalu saja mengganggunya. Untung aja Arxel tak diinfus, bisa-bisa langsung pendarahan karena sifat gegabahnya itu.

"Tenang Arxel, ayah bakal anterin kamu ke ruangan Sam. Tapi kamu janji harus tenang, okey?" Arxel menatap selidik Stef.

"Ayah akan mengantarkan kamu, atau tidak sama sekali?" Arxel membuang mukanya malas.

"Ya udah, cepetan!"

Axvel sebenarnya menahan tawanya, pasalnya ia tak pernah melihat kakaknya itu ngambek yang terlihat sangat lucu.

"Ngapain lo meringis kaya gitu?! Gw ngga lagi ngelawak ya!" Arxel menatap tajam sang adik yang masih saja menahan tawanya.

"Hahahaha!"

"Axvel!" Axvel kicep ketika suara dingin sang ayah menginterupsi.

"Iya iya," balas Axvel.

Mereka bertiga keluar ruangan.

Stef menuntun Arxel, lebih tepatnya menjaga agar putra sulungnya itu tidak kabur. Tak butuh waktu lama, mereka telah sampai di depan pintu ruangan.

"Ingat ya Arxel, tetap tenang," ulang Stef entah sudah ke berapa kali, padahal tadi dijalan juga ngomong gitu.

"Iya iya tua Bangka! Gw ngga pikun!"

Arxel membuka pintu ruangan, jelas saja dari dalam ada sepasang tatapan tajam yang menusuk kearahnya.

"KAU?! TAK ADA YANG MENGIZINKAN KAU MASUK!" Lio segera menggerakkan kursi roda otomatisnya untuk menghadang jalannya Arxel.

Sam yang melihat Arxel pun tak ayal matanya berkaca-kaca, ia sangat merindukan pria itu.

Arxel tak mengindahkan Lio, ia berjalan berbelok menghindari Lio. Karena menggunakan kursi roda membuat Lio tak bisa berbuat banyak.

Arxel berjalan cepat kearah Sam yang menatapnya dengan berlinang air mata, "Maaf, maafin daddy... adek boleh pukul daddy... maafin daddy..." Arxel memeluk tubuh yang lebih kecil darinya yang bergetar.

"JANGAN SENTUH ADIKKU BAJINGAN!" Teriak Lio sengit melihat Sam yang menangis dipelukan Arxel.

"Maafin daddy..."

Kesal karena tak ada yang menanggapi, Lio segera mengambil vas bunga di nakas. Rose, Stef, dan Axvel terlalu terharu melihat Arxel dan Sam membuat mereka tak mengindahkan Lio.

Sam menatap Lio terkejut ketika kakaknya itu mau menghantamkan vas bunga pada Arxel.

"Tuan awas!" Pelukan mereka terurai. Arxel terdorong kesamping ketika Sam dengan sekuat tenaga mendorongnya.

Dugh!

Prank!

"Shhhh"

"Sam!" Lio menatap sang adik panik, kenapa Sam harus mengorbankan diri?!

"Hiks... hiks... Sam maafin kakak... ayah cepat panggil dokter! Sam banyak darah! Cepat!" Lio sangat panik melihat banyaknya darah yang keluar dari kening Sam.

Walaupun kepalanya sangat pusing, Sam masih bisa menatap Lio yang menangis tersedu-sedu merasa bersalah.

"Ssshhh Sam ngga papa kak, jangan menangis," Sam menatap Lio sembari tersenyum.

"JANGAN SENYUM! MAAFIN KAKAK! ARXEL KENAPA DIEM AJA ITU DARAHNYA BANYAK HIKS... HIKS..."

Mendengar teriakkan sang adik, Arxel langsung saja mengambil selimut Sam untuk menutupi luka Sam, agar darah yang keluar tidak semakin banyak.

Stef langsung keluar ruangan mencari dokter, semua orang jadi panik. Padahal didalam ruangan ada tombol darurat.

Sam hanya senyum sesekali meringis ketika Arxel terlalu menekan lukanya, "Sam ngga papa kok, jangan khawatir. Kak Lio udah ya jangan menangis okey?"

"Aku sangat bodoh pernah menyakiti Sam yang berhati malaikat," batin Arxel merutuki kebodohannya.

TBC!


Bubay~

SAMUDRA ✓Where stories live. Discover now