🌧04. Baik, namun hancur🌧

5.4K 397 11
                                    

"Kebanyakan, orang yang terlalu banyak menahan sakit enggak pinter nyeritain masalahnya ke orang lain."
-Laksana Bumi Amerta-

"Lo bisa berhenti ngomong kalau lo itu orang gila, enggak?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Lo bisa berhenti ngomong kalau lo itu orang gila, enggak?"

Pergerakan Bumi total terhenti, begitu pula senyumannya yang berangsur lenyap. Pemuda itu meletakkan piring berisi nasi ke atas meja, mengambil pula sendok dan sosisnya kemudian ia biarkan begitu saja.

Pemuda itu kemudian duduk, menyatukan tangan di atas meja. Lantas perlahan, kepalanya bergulir, menoleh ke arah Amara.

"Terus, lo minta gue menyebut diri gue apa?"

"Waras?" lanjut si pemuda. Kemudian hembusan napasnya mengudara, Bumi memilih untuk bangkit, melangkah mendekati Amara.

"Awas!" Pemuda itu mendorong badan Amara pelan agar menjauh dari kompor yang masih menyala.

"Lo boleh bilang apa aja. Tapi jangan mengklaim terus-terusan kalau mental lo lagi enggak baik-baik aja."

Amara merajut langkah, mengikuti Bumi yang membawa panci berisi air panas ke arah meja. Tempat bumbu dapur, bubuk kopi serta teh diletakkan.

"Sekali-kali dengerin kek orang ngomong. Perasaan dari hampir sebulanan gue nyerocos gini lo enggak ada rasa menghargainya sebagai pacar."

Bumi sungguhan hanya melirik sambil menyeduhkan air ke atas teh dan gula yang sudah ia masukkan ke dalam gelas. Ruangan berubah sunyi, hanya ada suara air yang mampu disaring oleh alat bantu dengar milik Amara. Sementara suara laki-laki di hadapannya sama sekali tak mengudara.

"Lo tuh kebiasaan."

Amara semakin mendekat, menarik kerah kemeja milik Jenggala yang dikenakan Bumi. Satu gelas teh yang sedang si pemuda pegang jatuh menghantam lantai. Cepat-cepat Bumi meraih tubuh Amara agar gadis itu tak terkena air panas.

"Sehari aja enggak bikin masalah bisa enggak, sih? Lo pikir gue enggak pusing dengerin ocehan lo? Posesif banget jadi orang. Pacar bicara kenyataan aja enggak boleh. Lo minta gue bohong?"

Bumi melepas rengkuhan, lantas berjongkok untuk membersihkan kekacauan. Sementara Amara berakhir berdiri kaku, membiarkan ucapan Bumi barusan terngiang di dalam kepala.

Si pemuda bangkit, dengan tangan yang memegang pecahan gelas kaca. Manik Bumi bergulir, kemudian tangan putih pucat itu bergerak. Bumi mengambil segelas teh lain, lantas ia berikan kepada Amara.

"Sekarang, duduk sana di kursi meja makan. Makan makanan lo dengan tenang, gue beresin dulu pecahan kacanya."

Amara menggeleng, alih-alih menerima segelas teh yang diberikan Bumi, gadis itu justru berjongkok. "Biar gue aja yang beresin. Ini apartemen gue, tanggung jawab gue."

"Nanti kena beling, Amara!"

Bumi berdecak, meraih tangan Amara yang mengambil pecahan gelas itu asal. Selepas meletakkan gelas lain berisi teh hangat itu ke atas meja, si pemuda membuka telapak tangan Amara.

2. Hujan dan Rintiknya [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang