🌧44. Kamu penyembuhnya🌧

1.1K 117 14
                                    

Assalamu'alaikum, Hai aku kembali!

Gimana, udah melakukan hal baik di tiga hari terakhir ini?

Hari ini enggak lagi sedih, kan? Jangan, ya. Simpan air matanya, orang hebat enggak boleh terlalu sering nangis. Oke? Semangat buat hari ini dan seterusnya!

Oke. Jadi, siap baca babnya?

Siap dibikin nyesek dan greget lagi?

Silahkan ramein kolom komentar kalau ada sesuatu yang mengganggu perasaan kalian. Dan terakhir saatnya mengucapkan, HAPPY READING buat kalian❤

❁🌧❁

Seribu sayatan di tubuh bisa sembuh suatu hari, tapi satu mental yang rusak parah tidak akan bisa disembuhkan meski dengan usaha berkali-kali.

Amara berlari, meredam isakannya hingga sampai di ruangan ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Amara berlari, meredam isakannya hingga sampai di ruangan ini. Gadis itu tentu mampu melihat semuanya. Dia melihat mental Bumi tersiksa. Melihat pula upaya laki-laki itu menahan rasa sakitnya. Namun untuk pertama kalinya Amara merasa tak berguna, sebab dia tak bisa membantu apa-apa.

Ruang tari saksi bisu tempat perasaannya dan Bumi tersuarakan hari itu, kini kembali menjadi saksi bisu pilunya tangisan Amara.

"Gue emang enggak berguna buat lo. Bahkan sampai sekarang pun gue enggak bisa nyembuhin mental lo, Bumi."

Suara pintu ditutup terdengar, Amara tak peduli kalau sekarang ternyata ia sedang dijahili lagi. Namun hal yang selanjutnya terjadi justru di luar dugaan. Sebab tiba-tiba ada tubuh yang berani memberi rengkuhan untuknya.

"Kenapa pergi pas gue panggil?"

Suara itu terdengar lagi. Sebuah suara berat bernada tenang favoritnya kembali mampu Amara dengar. Gadis itu tak berbalik, dia justru menangis kian pilu hingga pundaknya bergetar.

"Ra ...." Sementara di belakang tubuh Amara, Bumi sibuk mengeratkan dekapan. Kepalanya mendarat pada pundak gadis itu. "Kenapa sedih?" tanyanya dengan suara lembut.

Nada suara yang tak pernah meninggi untuk gadisnya itu sejujurnya sudah begitu dirindukan oleh Amara. Namun, akibat sebuah kenyataan yang menghantamnya, Amara harus rela untuk tak mendengarnya beberapa hari ini.

Bibir tebalnya ikut cemberut, Bumi menatap leher Amara sebelum menyembunyikan wajahnya di sana. Tapi, belum resmi hal itu diperbuat, netranya justru menangkap pemandangan lain.

Ada luka lebam membiru di leher Amara. Bentuknya serupa tangan, persi seperti di leher Bumi.

"Tuhan, apalagi ini?"

Pelukan itu Bumi lepaskan. Tungkainya melangkah ke depan, kemudian berbalik menatap ke arah Amara. Dadanya terasa sesak seketika itu juga. Raut Amara yang penuh luka lagi-lagi ditemui oleh Bumi.

2. Hujan dan Rintiknya [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang