🌧20. Sembuh perlahan🌧

1.9K 183 15
                                    

Sesekali kita perlu melihat ke bawah. Melihat takdir lebih buruk milik orang lain yang Tuhan beri agar kita bisa lebih bersyukur. Sesakit-sakitnya kamu, masih ada yang lebih sakit.

 Sesakit-sakitnya kamu, masih ada yang lebih sakit

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Waktu sudah menunjukkan pukul 20.00 WIB, Bumi berdiri di depan jendela besar kamar Bintang. Sebuah kertas origami di genggaman masih belum Bumi buka sejak pertama kali dia mendapatkannya dari Arsen.

Bumi berbalik badan, menatap setiap sisi kamar. Laki-laki itu merajut langkah, menghampiri piano berwarna cokelat di pojokan kamar.

Bumi menduduki kursinya, tangannya terangkat, mengusap ujung piano yang nampak berdebu. Hari ini, tepat 3 bulan sudah Bintang berpulang, dan di sini Bumi masih sama. Masih begitu merindukan kakak kembarnya itu.

"Gue kangen banget sama lo, Bin."

Bumi memejamkan mata, membiarkan lelehan itu jatuh ke pipinya. Kedua tangannya terangkat, mendarat di atas touch piano kemudian memainkan sebuah nada.

"Hari ini gue kehilangan penguat." Bumi membuka mata, pandangannya bergetar. "Gue kira cuma gue yang kesakitan. Tapi ternyata, Amara jauh lebih sakit."

Pikirannya menerawang, mengingat kembali tubuh Amara yang bergetar di dalam dekapannya. Bumi tau gadis itu menangis pilu, namun begitu lemahnya ia yang menenangkan saja tak mampu.

"Apa yang harus gue lakuin, Bin?"

Bumi menghentikan permainannya. Tubuhnya ia bawa berbalik, mengamati lagi kamar Bintang yang lampunya sengaja tak Bumi hidupkan.

Kali ini, ilusi yang sering Bumi ciptakan tak datang. Padahal malam ini Bumi sengaja tak menenggak obat agar Bintang bisa hadir. Tapi nampaknya Tuhan sedang tidak ingin membuat Bumi menjadi orang gila lagi.

Bumi menunduk, tak sengaja menatap kertas origami berbentuk burung yang semula ia biarkan bertahan di atas pahanya. Tangannya terangkat, meraih kertas itu untuk ditatap lebih lamat.

"Gue emang pengecut, Bin. Bukan cuma enggak pernah bisa bantuin Amara, gue juga sampai sekarang masih enggak berani untuk buka kertas origami ini." Laki-laki itu tertawa, kemudian mendongak. Ia biarkan air matanya kembali jatuh membasahi pelipis. "Kenangan dari lo enggak gue liat sama sekali."

Bumi berhenti mendongak, tatapannya turun, kembali menatap kertas origami itu dengan bibir bergetar. Laki-laki itu menggigit bibir dalam, tangannya segera merogoh saku untuk mengambil tabung kecil berisi obat yang biasa ia konsumsi.

Dia tau, jika tak cepat menelan maka dirinya bisa kembali menyusahkan Arsen dan Antariksa. Bumi tidak ingin itu terjadi lagi.

Laki-laki itu membuka tutupnya, mengeluarkan isinya pula. Kemudian pil kecil itu ia tatap lamat. Bumi tertawa. "Dasar sialan! Benda sekecil ini bisa-bisanya berguna banget. Sementara gue? Gue enggak berguna sama sekali."

Bumi mendongak, memasukkan pil itu ke dalam mulutnya kemudian ia telan tanpa bantuan air.

"Harusnya lo bisa lawan, terus sembuh yang bener-beber sembuh."

2. Hujan dan Rintiknya [END]Where stories live. Discover now