🌧30. Kepingan memori🌧

1.4K 141 23
                                    

Sejatinya, trauma itu tidak pernah bisa sembuh. Ibarat seseorang yang mengalami kecelakaan, dia selamat dan tetap hidup. Tapi dia hidup dalam keadaan cacat hingga akhir hayat.

"Maafin Bunda juga karena udah bawa Bumi masuk ke dunia Bunda

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Maafin Bunda juga karena udah bawa Bumi masuk ke dunia Bunda. Harusnya Bumi enggak boleh ada di tempat ini."

Rengkuhannya terlepas, Mentari mengusap air mata. Wanita itu juga tersenyum, menatap wajah Bumi penuh rasa syukur.

"Bunda pikir, Ayah enggak mungkin bisa merawat kamu. Tapi ternyata Bunda salah, melihat Bumi yang udah sebesar ini, pikiran buruk Bunda dipatahin. Bunda yakin Ayah bisa merawat Bumi, dan Bumi juga bisa sembuh lagi."

Wanita itu mengangkat tangan, meraba kedua kelopak mata Bumi. Ibu jari Mentari mendarat di sana, lalu mengusap seluruh air mata Bumi.

"Ayah terus berdoa untuk kesembuhan Bumi di sana. Ayahmu enggak pernah capek ngupayain kesembuhanmu, Nak. Itu yang buat Bunda luluh, dan akhirnya mencoba untuk ikhlas atas apa yang udah ditakdirkan sama Tuhan."

"Termasuk takdir yang buat kita harus pisah dengan cara kaya gini, Bun?"

Bumi masih terisak, kedua tangannya sibuk meremat siku Mentari. Sumpah demi Tuhan, jantungnya sesak bukan main.

"Bunda emang belum mau pergi, tapi bukan berarti dengan alasan itu Bunda pengen bawa Bumi dari Ayah. Enggak, Bunda sadar dunia kita udah berbeda. Enggak mungkin untuk Bunda mencampuri lagi urusannya Bumi dan Ayah."

"Bunda ...." Suaranya nyaris tak mau keluar. Bumi menggelengkan kepala.

Lelehan air mata kembali menghiasi pipi kedua orang itu. Mentari kembali meraba wajah Bumi, menghapus lelehan air mata anak itu.

"Udah ya, Nak. Mau seperti apa cara perginya Bunda, ayo kita berdua sama-sama ikhlas. Jagoannya Bunda enggak boleh nangis."

Wanita itu tersenyum, menatap setiap lekuk tubuh anak remajanya. Bumi sudah besar, pasti juga sudah lebih kuat dari 7 tahun silam. "Bunda yakin, Bumi pasti bisa untuk merasa terbiasa. Kalau bukan tujuh tahun waktunya, enggak apa-apa nunggu lebih lama lagi. Asal di waktu yang udah ditentukan Tuhan itu, anak ini udah sepenuhnya sembuh."

Kepala remaja itu Mentari usap berulang kali, dengan kedua rungu yang bertahan mendengarkan isakan kecil Bumi. Di sela kepiluan itu, Mentari tersenyum getir, usapannya berhenti.

"Sembuh ya, Nak. Bukannya Bumi mau jadi pilot suatu hari nanti?"

Melihat Bumi yang mengangguk, wanita itu kembali mengusap surai serta membersihkan wajah Bumi yang dipenuhi air mata.

"Kalau pengen cita-citanya tercapai, Bumi harus semangat. Harus sembuh. Jangan ikut Bunda dulu ya, Nak. Kalau Bumi pulang sekarang, Bumi akan meninggalkan banyak momen indah sama orang-orang baik itu, Nak. Jangan berpikir pengen pulang, jangan ikut Bunda dulu, ya."

2. Hujan dan Rintiknya [END]Where stories live. Discover now