[10]

15K 1.8K 221
                                    

Jaemin membulatkan matanya saat melihat Jeno melangkah menghampirinya, bahkan jas mahalnya sudah di ganti dengan jas sangju, pria itu kemudian berdiri di samping Jaemin.

“Tuan, apa yang Tuan lakukan di sini?” Tanya Jaemin.

Jeno tak memberikan jawaban, dia hanya melempar senyum kemudian membungkuk pada pelayat yang datang. Dia biarkan Jaemin yang masih bertanya-tanya di sela menyambut para tamu.

Bahkan saat jenazah sang ayah di kremasi, Jaemin terus meraung, Jeno yang iba melihat tangisan kehancuran Jaemin. Dia dengan cepat memeluk tubuh Jaemin yang lemas.

Dia usap punggung pria yang terus menangis dalam dekapannya itu.

Seusai pemakaman, Jaemin kembali ke rumah bersama Jeno. Pria itu diam di belakang Jaemin yang berdiri di dekat ruang tamu selepas menyalakan lampu.

Air mata Jaemin menetes kembali melihat rumahnya, terasa begitu dingin dan sepi. Tak ada kehangatan lagi, semua kisah tentang Ibu dan Ayahnya berputar di ruang kosong itu.

Jaemin mendudukkan tubuhnya dengan lemas di sofa dan Jeno menyusul. Dia lirik jam tangan yang menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Ponselnya sudah sejak tadi bergetar, mungkin panggilan masuk dari suaminya.

Tapi meninggalkan Jaemin di saat seperti ini, membuat Jeno tak tega.

“Terima kasih sudah menjadi sangju untuk acara pemakaman Ayahku, Tuan. Aku tidak mengerti mengapa Tuan melakukan ini.” Gumam Jaemin lirih, sementara yang di ajak bicara, tetap diam.

“Kau menangis seharian, aku tahu kau sedih, tapi itu bisa berdampak pada janinmu.” Ucap Jeno.

Air mata Jaemin menetes lagi mendengar penuturan pria itu. Dia dengan cepat menyekanya.

“Apa gunanya janin ini? Aku melakukan semua ini tapi akhirnya, Ayah pergi juga.” Lirih Jaemin. “Boleh aku gugurkan saja anak ini, Tuan?” Tanya Jaemin kemudian.

Jeno tak menyangka bahwa Jaemin akan melontarkan tanya seperti itu. Namun dia coba memahami betapa kecewa Jaemin, dia berjuang, merelakan rahimnya semua sang Ayah, pada akhirnya, Ayahnya meninggalkannya. Seperti perjuangannya menjadi sia-sia.

“Silahkan. Jika kau bisa mengembalikan semua uang yang telah aku keluarkan. Bahkan lebih dari lima ratus juta yang kau harapkan. Kau bisa?” Tanya Jeno membuat Jaemin bimbang.

Seumurnya hidupnya pun, dia tak akan bisa mengembalikan uang sebanyak itu. Tapi dia berada di titik penuh akan penyesalan melakukan semua ini.

“Karena kau tidak bisa, maka pertahankan anak itu meski pun kau menyesal.” Ucap Jeno.

Dia tidak benar-benar memarahi Jaemin atas kalimatnya, itu hanya untuk menghibur Jaemin. Jeno selalu seperti itu, dia bicara seperti apa yang dia mau. Tak peduli terdengar kasar atau tidak.

Keduanya kembali diam selepas itu, hanya suara nafas Jaemin yang sesenggukan mengisi sepinya rumah Jaemin. Jeno pun terlalu sibuk pada pemikirannya. Atas dia yang mengapa begitu tunduk saat sang Ibu memerintah dia untuk berada di sisi Jaemin, seperti sang Ibu menghipnotis dirinya.

Lama keduanya termenung, Jeno tersentak saat kepala Jaemin jatuh ke pundaknya, dia hendak menggeser tubuhnya, namun baru sadar jika Jaemin terlelap. Dia pasti sangat lelah karena menangis seharian.

Jeno menghela nafas lalu menggendong Jaemin menuju kamarnya, dia rebahkan tubuh mungil itu lalu merapikan kaki Jaemin dan membuka sepatu yang membalut kakinya, dia naikkan selimut membuat tubuh Jaemin langsung meringkuk dan menggenggam jemari Jeno.

“Ayah, aku takut sendirian.”

Jeno menghela nafas mendengar Jaemin mengigau, dia coba melepaskan tangan Jaemin yang menggenggamnya begitu erat namun ia tak tega. Lantas dia memilih duduk di lantai, bersandar pada meja nakas dan menunggu Jaemin benar-benar terlelap.

ONLY [NOMIN]✓Donde viven las historias. Descúbrelo ahora