[29]

16.7K 1.8K 346
                                    

Jeno masuk ke dalam ruang rawat Jaemin dan melihat kondisi pria itu masih sama. Jaemin masih dalam kondisi koma. Dia bawa tubuhnya duduk di kursi jenguk dan menggenggam jemari Jaemin.

Dia pandangi wajah yang terlelap itu dengan senyum, ibu jarinya mengusap punggung tangan yang tertunduk selang infus itu.

“Jaemin...” panggil Jeno. “Belum bangun juga, aku rindu ada yang mengomeliku.” Ujar Jeno dengan suara seraknya.

“Di mana si mungil yang hobinya mengomel ini. Tidak ada yang mengomeli Tuan Lee.” Jeno bercerita dengan senyum, dia coba untuk menghibur dirinya sendiri.

Tiap rentetan kalimat yang ia lontarkan, membuat ia menyadari satu hal. Jeno tak pernah tahu seperti apa perasaannya terhadap Jaemin, namun melihat Jaemin seperti ini, dia khawatir dan dia rindu, ada pula ketakutan yang menyerang.

Rasanya seperti dia begitu marah, sangat marah, bahkan dengan meninju Seungmin, tak cukup meluapkan betapa dia benci pada pria itu, karena membuat Jaemin seperti ini.

Jeno menghela nafas lalu melepaskan genggaman tangan Jaemin, dia melangkah keluar dari ruangan itu kemudian duduk di depan kursi tunggu, dia keluarkan ponselnya dan mencari kontak pengacaranya.

“Ada apa Presdir?” Tanya Pria paruh baya itu.

“Aku ingin surat ceraiku selesai paling lama besok!” Perintah Jeno.

“Tapi Tuan Kim belum menandatangani berkasnya, Presdir.”

“Lakukan apa pun dan aku tak menerima alasan. Besok aku harus sudah menerima akta ceraiku! Mengerti!” Omel Jeno membuat sang pengacara gemetar ketakutan.

“Baik, Baik Presdir.” Jawab pria itu.

“Dan urus berkas pernikahanku dengan Na Jaemin!” Perintahnya.

“Baik Presdir, saya akan segera melakukannya dan mengabari Presdir setelah semuanya beres.” Jawab pria itu.

Jeno menghela nafas lalu mematikan sambungan teleponnya. Dia kembali masuk ke dalam kamar Jaemin dan duduk di lagi di kursi jenguk, tangannya kembali menggenggam jemari mungil itu dan matanya tak lepas memandangi Jaemin.

Jeno menoleh saat melihat pintu terbuka, dia lihat Ibunya masuk. Bahkan sang Ibu yang biasanya selalu ceria setiap bertemu Jaemin, kini hanya memasang wajah sedih.

Sudah empat hari dan kondisi Jaemin masih seperti ini. Siapa yang tak khawatir dan bingung.

“Lihatlah kondisi anakmu, juga.” Ujar Tiffany menepuk pundak Jeno.

Pria itu menghela nafas dengan anggukan pelan, dia berdiri dan menggantikan tugasnya menjaga Jaemin dengan sang Ibu, sementara dia melangkah keluar, menuju ruang rawat putranya.

Jeno masuk ke dalam ruang rawat putranya mengenakan pakaian pelindung lengkap dengan masker, ruangan ini harus tetap steril mengingat kondisi putra mereka mengkhawatirkan.

Dia lihat putranya terlelap, matanya berkaca-kaca lalu telunjuknya menyelinap di balik jemari gemuk nan mungil putranya.

“Jisung sedang bermain dengan Papa dan adik di sana ya?” Tanya Jeno dengan setetes air mata yang jatuh. “Apakah menyenangkan? Daddy tidak di ajak.” Rajuk Jeno, ibu jarinya mengusap punggung tangan Jisung.

“Jisung, ayo ajak Papa dan Adik pulang.” Ucap Jeno.

Dada bayi yang di beri nama Jisung oleh Jeno itu mulai tampak naik turun. Wajahnya mulai memerah dengan alis bertaut, perlahan, suara rintihan terdengar keluar dari bibirnya membuat Jeno membulatkan matanya.

Rintihan-rintihan kecil itu, perlahan berubah menjadi isakan hingga akhirnya berubah menjadi tangis yang nyaring. Tubuhnya bereaksi hebat atas interaksinya dengan sang Daddy. Jeno sempat panik, mengira sesuatu terjadi dengan Jisung, apalagi saat dokter dan perawat masuk.

ONLY [NOMIN]✓Where stories live. Discover now