29. Pengakuan Hati

31 26 6
                                    

'Aku sebenarnya tidak memiliki nyali untuk menyatakannya padamu. Tapi aku tidak ingin kehilanganmu.'

Joon terus tersenyum memandang sebuah pot mungil yang berisi tanaman bunga matahari yang sudah dibungkus dengan plastik rapi dan dihias dengan pita berwarna kuning. Ia keluar dari dalam mobilnya yang ia parkir tepat di depan Sun Flower Shop. Hatinya selalu terasa menari-nari saat akan bertemu dengan gadis yang menjadi cinta pertamanya. Ia pun beberapa kali membetulkan kerah jasnya dengan sebelah tangan yang tidak membawa pot mungil.

"Selamat datang!" sambut salah satu karyawan Sun.

Joon mengumbar senyum sejenak lalu radarnya mulai mencari keberadaan Sun di dalam ruangan itu. Setelah beberapa detik celingukan ke sana kemari tapi tidak menemukan sosok gadis mungilnya itu, ia pun memutuskan untuk bertanya pada salah satu karyawan Sun.

"Sun ke mana?"

"Oh, bos pergi keluar pagi tadi."

Raut wajah Joon menunjukkan kekecewaan. Ia memandang pot bunga mungil yang akan diberikan pada Sun. "Ia pergi ke mana?"

Salah satu karyawan menggelengkan kepalanya, lalu karyawan yang satu lagi seakan teringat sesuatu. "Sepertinya ia pergi dengan pemuda itu."

"Pemuda siapa?" Joon mulai menerka-nerka.

"Tadi ada pemuda urakan yang datang. Lalu bos pergi bersama dengan pemuda itu."

Pemuda urakan? Joon mulai menerka-nerka pemuda yang pergi bersama Sun . Hanya ada satu nama yang terlintas di pikiran Joon. Pemuda urakan yang mungkin datang menjemput Sun.

"Bagaimana rupa pemuda itu?" tanya Joon ingin memastikan.

"Ia mengenakan topi, celana jeans robek dengan jaket hoddie, dan juga memakai earphone di telinganya. Wajahnya menakutkan sekali. Tidak tersenyum dan terlihat galak," ucap salah satu karyawan. Karyawan yang satu lagi langsung menganggukkan kepalanya, tanda ia setuju dengan pernyataan temannya. "Kalau tidak salah pemuda itu membawa sedan hitam," karyawan itu mencoba memberikan informasi tambahan.

Sedan hitam? Apa mungkin itu Yeol? Tadi pagi ia mengambil kunci mobil ayah. Pergi ke mana mereka? Joon memandangi pot bunga mungil yang ia bawa dengan wajah yang sendu. Dia sudah mengira kalau kakaknya itu tertarik pada Sun. Sejak awal kakaknya sudah tertarik pada Sun. Baik itu sejak mereka masih kecil maupun saat Yeol menjadi Hwang Yeol. Joon tidak tahu harus bersikap seperti apa nanti saat ia bertemu dengan kakaknya.

***

"Tuan muda kenapa tidak makan?"

Bibi Jung yang sedari tadi memperhatikan Joon hanya bisa menghela nafas pelan. Tuan mudanya itu sudah melewatkan sarapan dan makan siangnya. Kini ia sama sekali tidak menyentuh makan malamnya. Belakangan ini Bibi Jung memang lebih sering memperhatikan Joon karena sepertinya kesehatan tuan mudanya itu sedang tidak bagus. Ia berkali-kali memergoki Joon sedang memegangi kepalanya yang sakit. Bahkan ia pernah melihat Joon muntah-muntah di kamar mandi dua hari yang lalu. Bibi Jung yang sudah menjadi pengurus di rumah itu sejak almarhumah ibu Joon masih hidup menjadi sangat khawatir dengan kesehatan Joon.

"Apa Tuan muda tidak suka lauknya? Aku bisa membuatkan sesuatu yang lain jika Tuan muda mau."

Joon yang tersadar dari lamunannya langsung menoleh ke arah Bibi Jung yang sedari tadi ada di sampingnya. "Oh, tidak. Aku aku akan makan sekarang," Joon mengambil sumpit dan mulai menyuapkan ikan panggang ke dalam mulutnya. Namun hanya dalam hitungan menit Joon sudah meletakkan sumpitnya di atas meja.

"Bibi Jung, aku sudah selesai makan," Joon berdiri dari kursinya.

"Tuan muda kenapa tidak dihabiskan makanannya?" bibi Jung merasa berasalah. "Kalau Tuan tidak suka lauknya, saya akan membuatkan makanan kesukaan tuan."

Joon menggeleng. "Tidak usah Bi. Aku sudah kenyang," Joon langsung berjalan menuju tangga. Bibi Jung hanya bisa menghela nafas pelan memandang tuan mudanya yang tidak menghabiskan makan siangnya.

Ketika kaki kanan Joon hendak menaiki tangga, kepalanya merasakan rasa sakit yang teramat sangat. Seolah batu-batu besar runtuh dari atas tebing menimpa kepalanya. Tubuhnya goyang dan kehilangan tenaga. Tangannya berpegangan pada dinding. Telinga Joon mendengar samar-samar teriakan bibi Jung. Ia memalingkan kepalanya dan melihat bayangan bibi Jung yang mendekat menghampirinya. Perlahan bayangan itu menghilang dan warna hitam menjadi satu-satunya pandangan matanya.

Bibi Jung masih terlihat pucat melihat tuan mudanya pingsan dan tergeletak di dekat tangga. Tangannya yang gemetar memegang telepon dan memencet nomer majikannya, tetapi nomer yang ia tuju tampaknya tidak ada yang menjawab. Ia pun baru teringat kalau majikannya itu sedang ada di Jepang. Pikirannya saat ini kalut dan ketakutan. Ia hendak menelpon Yeol, tetapi ia tidak memiliki nomernya. Saat itu terbesit dalam pikiran bibi Jung untuk menelpon Sun. Setidaknya Sun terlihat sangat dekat dengan Joon. Gadis itu harus diberitahu tentang keadaan Joon sekarang.

***

Sun masuk pelan-pelan ke dalam kamar Joon dan mendapati Joon sedang terbaring menyamping membelakangi pintu. Tampaknya ia sedang tertidur, tapi saat Sun berbalik ingin menutup pintunya lagi dan keluar ruangan, terdengar suara Joon yang terdengar lemah.

"Kau ke mana saja?"

Tangan Sun yang memegang gagang pintu pun terlepas. Ia menoleh dan berjalan menuju tempat tidur Joon dengan langkah kaki yang ringan. Joon membalikkan badannya ke arah pintu. Sun melihat wajah Joon yang putih pucat. Sun duduk di ujung tempat tidur Joon. "Tadi siang kau ke toko? Ada apa mencariku? Kata bibi Jung kau tidak mau pergi rumah sakit. Kau harus memeriksakan kesehatanmu!" Joon tidak menjawab Sun.

"Kenapa kau seperti anak kecil. Kalau kau sakit, kau harus ke rumah sakit! Bagaimana jika sakitmu tambah parah?"

Joon dengan terpaksa mengangguk-angguk lemah karena tidak ingin Sun mengomel lagi. "Iya iya, besok aku akan ke rumah sakit," Joon bangun dan menyandarkan kepalanya di sandaran tempat tidur. Telunjuk kanannya menunjuk pot bunga mungil yang ia letakkan di atas meja, di seberang tempat tidurnya. "Itu untukmu!"

Pandangan Sun mengikuti arah telunjuk kanan Joon. Ia melihat sebuah pot bunga mungil yang berisi bunga matahari. Wajahnya langsung terlihat cerah. Kakinya melangkah dan tangannya meraih pot bunga tersebut. Ia tersenyum sambil memalingkan wajah ke arah Joon.

"Cantik sekali!" Sun berjalan lagi ke arah tempat tidur Joon.

"Kau harus berjanji padaku untuk terus merawat bunga itu!"

"Serahkan saja padaku! Kalau untuk urusan merawat bunga, aku jagonya," ucap Sun membanggakan diri.

"Sun...." Joon terdiam. Kepalanya terus dipenuhi pertanyaan ke mana Sun dan Yeol pergi seharian. Joon tahu ia tidak berhak ikut campur dalam urusan Sun, tapi akhir-akhir ini hatinya semakin tidak tenang. Ada rasa cemas yang melanda dirinya. Cemas kalau hubungan Sun dan Yeol semakin membaik sementara hubungannya dengan Sun semakin menjauh.

"Pulanglah! Sudah malam. Maaf aku tidak bisa mengantarmu."

Sun mengangguk pelan. "Aku pulang dulu. Kau jangan lupa periksa ke rumah sakit besok!"

"Sun!" panggilan Joon membuat Sun yang sudah berdiri di depan pintu membalikkan badannya. "Katakan saja! Kau sepertinya ingin menanyakan suatu hal padaku tapi tidak bisa mengatakannya khan?" tebak Sun.

Joon bangun dan berjalan menghampiri Sun. Sun memasang wajah marah, ia menyuruh Joon untuk tidak bangun dari tempat tidurnya. Tapi Joon tidak peduli. Ia malah merentangkan kedua tangannya dan mendekap tubuh mungil Sun. "Aku hanya ingin memelukmu seperti ini. Karena dengan memelukmu, semua kekhawatiranku akan hilang seketika."

"Joon..."

"Aku menyukaimu Sun!"

***

A Thousand Tears in DaeguTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang