33. Tiga Hati yang Berbeda

41 34 2
                                    

Sun sudah menduga hal ini pasti akan terjadi. Saat menerima kabar kalau dirinya mengidap kanker otak, Joon sangat syok. Pandangan matanya seolah kosong, jiwanya seolah pergi entah ke mana, dan dirinya hanya tersenyum hambar jika Sun bertanya hal yang macam-macam.

Melihat senyuman Joon yang masih tetap seperti biasa membuat hati Sun miris. Rasanya ia ingin sekali menangis untuk menggantikan Joon. Bagaimana bisa orang yang baru saja divonis kanker oleh dokter, malah tersenyum seolah mengatakan kalau dirinya tidak apa-apa.

Meski Joon terus mencoba untuk bersikap seperti biasa di hadapan Sun, tapi Sun dapat melihat ada kekhawatiran dalam sorot mata Joon. Kekhawatiran yang dapat Sun rasakan. Kekhawatiran yang membuat seluruh dada Sun terasa sesak. Sun ingin mengatakan banyak hal untuk menenangkan Joon. Tapi di otaknya, ia terus memilah-milah kalimat yang sekiranya tidak akan menyakiti perasaan Joon.

"Joon, kau pasti bisa sembuh. Ada banyak orang yang terkena kanker tapi mereka bisa sembuh," jelas Sun saat mereka sudah berada di dalam mobil Joon. Sun terus menatap Joon. Sejak mereka masuk ke dalam mobil, Joon diam seribu bahasa. Joon tidak berbicara sepatah katapun selama lebih dari dua jam. "Joon, kau mau menjalani pengobatan khan?" Sun benar-benar tidak tahan melihat Joon yang diam dan dingin seperti sebuah bongkahan batu es yang akan dihancurkan. "Joon, nanti aku bisa..."

"Sembuh?" nada suara Joon perlahan meninggi. "Kau bilang aku bisa sembuh?"

"Te...tentu saja Joon. Asalkan kau mengikuti terapi. Kau pasti bisa sembuh."

"Berapa persen? Apa kau bisa memastikan berapa persen aku bisa sembuh? Apa kau bisa yakin kalau aku tidak akan mati?? Aku sebentar lagi akan mati Sun. Aku akan mati seperti ibuku!!!" teriakan Joon terdengar putus asa dan memilukan. Kepalanya menyentuh telapak atas kedua tangannya yang ada di atas gagang setir.

Sun dapat melihat air mata Joon yang sudah membendung di sudut kelopak matanya. Sun merasakan rasa sakit yang teramat dalam karena ia tidak bisa membantu Joon. Perkataan Joon seperti pisau tajam yang mengiris-iris hati Sun. Joon tidak pernah sekalipun membahas tentang ibunya yang meninggal karena kanker. Karena setiap mengingat ibunya, ia pasti tidak akan tega membayangkan ibunya yang sedang menahan sakit saat diterapi melawan penyakitnya. Tapi kini, Joon pasti akan merasakan hal yang sama seperti ibunya. Joon sangat takut akan hal itu. Ia benar-benar pesimis jika dirinya bisa terus mengirup udara di muka bumi ini.

"Joon..." Sun mengusap air matanya yang kini sudah membasahi kedua pipinya. Hatinya tidak tega melihat kondisi Joon yang sudah putus asa. Ia hanya bisa memandang Joon sambil mengusap-usap lengan lelaki itu untuk menenangkannya. Di saat seperti ini, Sun tidak bisa meninggalkan lelaki itu sendiri. Ia harus berada di samping Joon menemaninya, sama seperti saat Joon menemani Sun di saat-saat tersulit dalam hidup Sun.

***

Kepala Sun rasanya sudah sangat penat hari ini. Ia beberapa kali menggerak-gerakkan kepalanya melingkar untuk mencoba mengusir rasa penat itu dari isi kepalanya. Kakinya terasa berat berjalan seolah rantai besi sudah terpasang di kedua kakinya. Menerima kenyataan kalau Joon mengidap penyakit kanker membuat Sun tidak bisa berpikir apa-apa lagi kecuali memikirkan tentang Joon. Diri Sun merasa sangat khawatir pada perubahan sikap Joon yang ditunjukkan padanya tadi. Joon yang terlihat emosional dan putus asa.

Akibat berjalan sambil memikirkan Joon, Sun tidak menyadari kalau ia sekarang sudah sampai di depan rumahnya sendiri. Ia pun tidak menyadari kalau Yeol sudah berdiri menyandar di samping pagar rumah Sun. Sun mengambil kunci dari dalam tasnya dan membuka gembok yang terpasang di pintu pagarnya. Sun yang tidak melihat Yeol membuat lelaki itu geram dan menepuk bahu belakang Sun.

Sun langsung menoleh, "Astaga!" Sun memekik melihat Yeol sudah ada di sampingnya. "Ah, kenapa kau mengagetkanku terus?"

"Aku sudah berdiri dari tadi di sini. Kau tidak melihatku?" pertanyaan Yeol dijawab dengan gelengan kepala oleh Sun. "Wah, kau ternyata benar-benar menghiraukanku."

A Thousand Tears in DaeguWhere stories live. Discover now