Bab 22

1.8K 98 10
                                    

"Jawab dulu pertanyaan gue!!"

Kaycia menatapnya, begitupun dengan Asten. Amarah Asten selalu menggebu dan selalu melakukan hal-hal yang tak disukai oleh Kaycia. Sungguh, Kaycia sangat membenci sosok Asten.

Kaycia tidak langsung menjawab, ingatannya berputar pada percakapannya dengan Karl. Dia takut jika mengatakan dirinya adalah adik dari mereka, sesuatu yang berakibat fatal akan terjadi.

"Aku pacar kak Karl," bohongnya, memalingkan wajahnya.

Tak sadar, Asten mengeraskan rahangnya. Dia mengepal kuat, mengingat awal mula kebenciannya pada Karl.

Benar, ada alasan dibalik kebenciannya pada Karl selain rival dijalanan. Dia membenci Karl karena Karl telah merebut wanita yang paling dicintainya.

Wanita itu adalah sahabat kecilnya, dia tidak mengerti mengapa wanita dicintainya itu bisa menyukai sosok Karl.

Saat Asten sudah menerima jika wanitanya menyukai pria lain (Karl), suatu insiden terjadi. Karl mencampakkan wanitanya dan berakhir meninggal dunia karena depresi.

Dari situlah, serpihan-serpihan kebencian mulai menumbuh di dalam dirinya. Dia bertekad untuk menghancurkan Karl.

"Karena aku udah mengatakan yang sebenarnya .... Lepasin aku!" lanjut Kaycia.

Asten menyunggingkan senyumnya merasa konyol dengan ucapan Kaycia. Tangannya mencengkram kuat pipi Kaycia dan berucap, "bagus deh kalau lo pacarnya bajing*n itu! Gue bisa balas semua perbuatannya!" sentaknya.

Asten berbalik memunggunginya, "jangan harap lo lepas dari gue!"

Mulut Kaycia ternganga, tak percaya dengan yang didengarnya. "Kak Asten gila?! Kalau mau balas-balasan, jangan libatin gue!!" emosinya melupakan kesepakatannya.

(Kesepakatan tanpa menggunakan lo-gue)

"Pacar bajing*an lo juga libatin orang lain!" tukas Asten seraya duduk di salah satu kursi di sana.

Kaycia terdiam, 'apa maksudnya? Sebenarnya mereka kenapa sih?! Tapi gue harus tanyain ini sama kak Karl!' batinnya dilanjuti oleh umpatannya pada Asten dan Karl yang seenaknya membawanya pada permasalahan mereka. Namun, sepertinya dialah yang telah masuk diantara permasalahan mereka.

Tanpa memedulikan Asten yang tengah bersantai di kursi, Kaycia mencoba menggedor-gedor pintu gudang. Berharap ada seseorang yang mendengarnya.

Namun sayang, di luar tidak ada satupun orang yang melintas. Semua orang tengah berada di lapangan menyaksikan lomba antar sekolah.

"Berisik!" bentak Asten.

"Kak Asten cepet bantuin buka pintu!! Gue gak mau bermalam di sini!"

"Percuma, gak akan ada yang denger karena ruangan ini kedap suara. Percuma juga dobrak pintu, karena pintunya kuat!" jelas Asten, memejamkan matanya menidurkan dirinya di kepala kursi.

Bibir Kaycia mengerucut, "cih gak ada usaha-usahanya jadi cowok!" gerutunya pelan.

"Gue bisa denger!" timpal Asten.

Kaycia langsung merapatkan bibirnya, 'tajem juga kupingnya!' batinnya.

Asten membuka matanya sebentar, "inget perjanjian kita!" peringatnya.

"Inget juga kalau gu-- aku punya pacar!" sindir Kaycia.

"Gue gak peduli!"

Hari mulai menggelap, sementara Kaycia dan Asten masih di dalam gudang. Ingin sekali rasanya menangis, tapi Kaycia mencoba bertahan karena malu jika Asten melihatnya lalu menjadikan bahan olokannya.

"Kak, mikir dong! Gimana caranya kita bisa keluar. Ini udah malam!"

"Males mikir!" singkatnya.

"Cih, bener-bener kayak bunglon! Bentar lembut, bentar baik, bentar nyebelin!" Gerutunya.

"Gue bisa denger ya Kaycia!"

"Iya-iya!"

Jam berdenting begitu lambat, suasa di dalam gudang pun semakin berbeda. Hingga lampu pun mati, konslet.

Matanya menyisir ke segala arah yang tampak gelap, lalu bayangan-bayangan menyeramkan yang dilaluinya dulu berkeliaran di benaknya. Tubuhnya menggigil, keringat dinginnya bercucuran membasahi seluruh tubuhnya, bahkan jantungnya berdegup kencang sekaligus terasa sakit.

"Ci, lo gak apa-apa?" tanya Asten melihat Kaycia yang meringkuk dengan badan bergetar hebat. Dia bisa melihatnya karena pantulan bulan menembus ruangan tersebut, sehingga ada sedikit cahaya yang masuk.

"Ci?!" Asten menepuk-nepuk pipi Kaycia.

"Ck, lo kedinginan dan takut?" tanyanya seraya melepas jaket yang dipakainya pada Kaycia.

Namun, jaketnya tidak bisa menghentikan tubuh Kaycia yang menggigil.

"Ma, Pa, tolong Cia ... Cia takut!" Kaycia mulai meracau, memeluk tubuhnya yang semakin bergetar.

Asten kelimpungan karena Kaycia semakin bergetar. Ingin menghubungi seseorang, tapi ponselnya tertinggal di basecamp. Begitupu. Dengan Kaycia, ponselnya tertinggal di dalam tas tepatnya di kursi penonton.

"Nyusahin!" decaknya. Namun, lain di mulut lain di tindakan.

Tubuhnya mengulur, mendekap Kaycia ke dalam pelukannya, berusaha menenangkannya denga elusan di pundaknya.

"Tolong ... Gak mau!" racau Kaycia.

"Ada gue di sini," ucap Asten.

Perlahan, Kaycia mulai tenang. Nafasnya kembali teratur. Elusan di punggungnya ternyata membuatnya merasa lega.

Tidak mendengar racauan Kaycia, Asten menoleh ke sampingnya. Ternyata Kaycia tertidur di bahunya.

"Kejadian apa yang buat lo kayak gini?" lirih Asten, mengelus peluh keringat di dahi Kaycia.

Rembulan menusuk ke dalam gudang, sehingga bisa melihat wajah Kaycia dengan samar-samar. Tidak bisa dipungkiri, Asten mengakui jika Kaycia wanita yang menarik dan cantik. Dia masih belum tahu alasan Kaycia menutupi wajahnya dengan make up jelek.

"Lo cewek teraneh yang pernah gue temui," ucapnya terkekeh.
.
.
.
.
.
TBC

My Nerd Is Perfect حيث تعيش القصص. اكتشف الآن