Bagian 24. Gone

485 50 17
                                    

State of Tetraxons
Gone

Tolong...

Kecelakaan yang dulu pernah terjadi padaku dan ayah sungguh sangat diluar dugaan. Kami akan mengira setelah pulang dari pangkalan militer, tempat dimana ayahku menjadi prajurit untuk negara, kami akan melihat langsung wajah ibuku yang khawatir dan memakan makan malam yang sudah tersedia di atas meja makan. Namun, kenyataannya memang pahit.

Kala itu, di atas kursi penumpang, aku hanya tergolek lemas tak berdaya dengan kepalaku yang ada di dasbor. Lebih tepatnya di kantung udara yang mengembang bertepatan bagian depan mobil ayah menabrak mobil lainnya. Aku menyesal karena tidak -sempat- melingkarkan sabuk pengaman ke tubuhku. Ya, penyesalan memang selalu datang pada akhirnya. Maka aku akan belajar dari pengalaman. Setitik air mulai membasahi dan mengaliri pelan di pelipisku. Kuyakin, air itu berwarna sama dengan kemeja yang kupakai. Merah maroon.

Mataku menangkap cahaya. Memberikan pemandangan yang tak pernah kuduga sebelumnya. Ayahku juga memiliki posisi yang sama denganku di atas kantung udara yang ada di setir kemudi mobil. Seberapa parah tabrakan ini?

Dan teriakan orang lain membuatku terhanyut hingga akhirnya aku terlelap kembali dalam gelap. Hingga pada saat aku membuka mata kembali beberapa menit kemudian, badanku sudah berada di atas kasur yang level keempukannya masih dibawah standar. Hidungku mulai mencium bau sesuatu yang familiar. Bau bahan kimia yang pasti dikenal banyak orang. Tentu saja itu rumah sakit. Dan sebenarnya, sebelum hal ini terjadi, akupun sudah mulai terbiasa dengan baunya. Mataku tidak jelas menangkap cahaya yang putih dan hijau ini. Sungguh menyilaukan.

Sayup-sayup, aku mendengar seseorang berada di dekatku. Kulihat sesosok bayangan tegap yang dalam penglihatanku sangat buram. Itu bukan dokter. Mana ada seorang dokter yang mengenakan pakaian hijau-abu bak militer. Dari suaranya, itu bukan Ibu. Karena kudengar dari arah yang lain, Ibu sedang menangis. Dan bukan pula suara Ayah. Karena suaranya tak khas layaknya seorang ayah. Apalagi prajurit Hampston itu. Tidak mungkin itu dia. Suaranya tak akan selembut itu.

Entahlah dia siapa. Aku tak peduli bagaimana suaranya. Bahkan tak peduli pakaian apa yang Ia kenakan. Tapi, orang ini mengatakan bahwa ayahku juga selamat.

Walau begitu, aku tak bisa lagi melihat wajah ayah dan ibuku secara nyata. Hanya bisa dibayangkan dalam pikiranku. Lalu, aku kembali bertanya, apakah orang yang ada di depanku ini bisa mengampuniku dan tak menjadikanku sandera? Dan apakah orang ini akan mengirimku ke'sana' dimana ayah dan ibuku berada?

Aku menjerit di dalam hati dan pikiranku. Berdoa agar orang ini tidak membuat kesimpulannya sendiri untuk meledakkan kepalaku akibat dia menarik pelatuk senapannya. Jika dia berusaha mengintimidasiku, aku akui dia berhasil membuatku panik. Pasti dia bisa melihat kepanikanku sekarang dari kedua tanganku yang gemetar. Namun, jika dia bermaksud hendak menjadikanku sandera dan meledakkan kepalaku berikutnya jika aku menolak, maka dia salah besar. Aku tidak ingin dijadikan sandera oleh siapapun. Aku tidak ingin dibunuh oleh siapapun kecuali aku yang meminta. Karena aku juga memiliki hak dan tujuan yang perlu kuraih. Dan sebenarnya juga, aku tidak ingin karena ada seseorang pingsan di blok tujuh yang menungguku.

Aku masih saja menunduk karena dia kini mendekatkan moncong senapannya ke ubun-ubun. Ketakutanku seketika naik ke ubun-ubun yang setiap waktu dapat meledak karena peluru orang asing ini.

"Siapa kau?" Tanya orang yang ada di depanku. Kukira aku akan mendengar suara bariton khas lelaki. Tapi, tidak. Aku mendengar suara perempuan sehingga aku membelalakkan kedua mataku.

Penyintas lainnya dan dia perempuan.

Aku berusaha mengeluarkan kata-kata disaat tenggorokanku terasa sangat kering. Aku bahkan lupa rasanya lapar akibat pengejaran gila yang sangat memakan tenaga. Dan aku tak dapat membayangkan lagi apa rasanya air yang mengalir turun melalui tenggorokanku.

State Of TetraxonsWhere stories live. Discover now