Bagian 8. Acid Rain

935 90 3
                                    

State Of Tetraxons
Bagian 8. Acid Rain.

  'You can't stop the sun, from glowing down..
You can't stop the strangers, from chasing you in the part..
You can't stop the cloud, from moving on the sky..
But, you can close your eyes. And turning off the light...'

Walau aku menyanyikan lagu ninabobo -yang menurut orang lain itu menakutkan- berulang-ulang, mataku tetap tak bisa terpejam. Hari sudah semakin sore. Hingga dari tempatku berbaring, aku bisa melihat bintang senja dan sedikit gemerlap bintang yang hadir menyelimuti langit-langit yang hampir hampa oleh awan.

Langit yang tadinya berwarna jingga, kini berganti menjadi ungu dengan hiasannya berupa warna merah muda bak cat air di atas kanvas berwarna biru muda agak kelabu. Aku terlalu lelah untuk melakukan apa saja hari ini.

Karena dia belum kembali.

Sejak tadi siang, Blake belum kembali. Aku tak ingin menguras tenagaku untuk mencarinya yang akhirnya berujung pada sia-sia. Rumput ini tak berasa lagi seperti rumput yang kuinjak. Namun, berasa seperti seprai lembut kehijau daunan yang bisa menopang tubuhku untuk tidur di atasnya.

Entah apa yang dia lakukan di taman pohon oak itu. Dia sangat senang berdiam diri disana. Aku hanya tak ingin mengganggunya. Memanggilnya pun sudah membuatku di dalam masalah. Angin sudah melayangkan pikiranku. Hanya jaket ayahku yang bisa menghangatkanku. Tak ada lagi api atau pemantik yang bisa membahayakan nyawaku.

Matahari pun terbenam. Suara gaung meluluhlantakkan pikiranku beserta hatiku. Hatiku merintih sakit saat mendengarkan suara gaung yang padahal tak berakibat apapun bagiku. Walau begitu, tetap saja yang diubah itu adalah manusia-manusia yang penting bagi generasi selanjutnya. Bisa saja mereka berdosa atau tidak. Namun, generasilah yang kuharapkan sekarang ini. Jika aku adalah manusia terakhir di New York, mungkin aku akan berpindah ke negara lain yang lebih aman. Tapi, ada banyak kemungkinan bahwa manusia-manusia normal masih ada di kota ini. Mungkin mereka bersembunyi di suatu tempat atau tidak sama sekali.

Dan ada Blake.

Dialah satu-satunya harapan disini setelah aku. Tapi, dengan sikapnya yang keterlaluan, aku bisa kehilangannya hanya dengan kilatan cahaya. Sungguh sikapkulah yang sebenarnya membuat keadaan menjadi seperti ini. Egoku terlalu tinggi hingga mematikan sikap baik orang lain.

Hembusan angin menyadarkanku akan pikiranku yang bercabang-cabang. Suara gaung yang kedua dan kilatan cahaya biru terang dari suatu menara gedung paling tinggi, membuat silau mataku dan akhirnya kedua mataku terlalu lelah menopang beban pikiranku hingga terlelap bersamaan dengan suara gaung ketiga.

[◆]

Tetes-tetes air yang mengenai kelopak mata, menyadarkanku. Kemudian, tetesan air tadi mengenai pipiku. Berlanjut hingga ke telapak tanganku. Aku segera membuka mataku dan mendapati aku masih sendiri di tepi danau. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Tetesan air tadi bukan berasal dari seseorang yang usil. Melainkan berasal dari awan kelabu di pagi hari. Aku menengadahkan kepalaku dan tetesan air tadi lagi-lagi menetes di wajahku.

Gerimis.

Pikiranku yang dapat menebak dengan cepat itu, segera bangun. Dengan cepat, aku mengambil busur, anak panah serta ranselku. Kemudian, membawanya pergi berteduh di bawah pohon-pohon oak yang agak rindang. Walaupun masih ada tetes air yang mengalir masuk, tapi tidak terlalu banyak. Aku memperhatikan gerimis yang semakin lama, semakin deras masih dengan mata yang mengantuk. Sudah berapa lama aku tak merasakan gerimis di kota ini? Setahun mungkin? Aku tak tahu pasti. Namun, dengan gerimis ini aku hanya berharap segalanya akan membaik. Aku berpikir bisa saja makhluk mengerikan itu tidak tahan terhadap air yang turun dari langit. Atau malah mengakibatkan kemungkinan terburuk.

State Of TetraxonsWhere stories live. Discover now