Bagian 31. To The Camp

243 35 9
                                    

State of TetraxonsBagian 31

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

State of Tetraxons
Bagian 31. To The Camp



Orion dan anak buahnya membawa kami menuju ke luar hutan. Kini aku dan pengawasku berjalan di barisan paling terakhir. Orang yang sedari tadi menyeret lenganku tidak bersuara sama sekali sejak tadi hingga sekarang kami berjalan di pinggir jalanan kota. Aku melihat di depanku juga tidak ada yang bersuara kecuali Catty yang sedari tadi menangis terisak. Mendengarnya, air mataku kembali menggenang. Membayangkan wajah Mallet yang tersenyum saat memberikan roti isi tomatnya padaku. Membayangkan bagaimana dia memainkan cincin pertunangan miliknya. Membayangkan dia dengan tiba-tiba melindungiku dari serangan mendadak itu. Air mata menyedihkan ini kembali menetes. Aku belum pernah menemui pahlawan sehebat Mallet. Aku hanya bisa membayangkan bahwa dia kini sudah berbahagia dengan tunangannya, Julie, di atas sana. Merangkai kisah mereka kembali.

Aku menunduk berusaha menghentikan isakan ini sambil terus berjalan entah kemana. Ketika mendongak, aku masih dapat melihat Orion yang berjalan paling depan sibuk mengawasi kiri-kanan-atas-bawahnya. Bosan dengan pemandangan itu, aku kembali menunduk. Memerhatikan benda kecil berkilau yang ada di kedua tanganku yang di borgol. Benda itu adalah cincin pertunangan milik Mallet. Aku sengaja mengambilnya agar dapat mengingatnya bahwa dia orang yang berjasa untukku. Seperti yang aku lakukan untuk selalu mengingat ayahku. Membawa jaketnya kemanapun aku berada. Jika jaket itu hilang, maka aku akan terus mencarinya. Mengingat hal itu, aku jadi terbayang wajah Blake. Teringat bahwa dia juga hilang bersama jaket ayahku. Lagi-lagi aku mendongak, hanya untuk memastikan Blake baik-baik saja berjalan di depan sana. Dari tempatku, aku bisa melihat badan tegap itu berjalan dan sesekali terhuyung sama sepertiku. Lalu sebuah senyum tanpa sengaja terukir di wajahku. Tersadar, aku segera mengubah wajahku kembali dengan ekspresi datar. Aku bahkan tidak tahu tujuanku tersenyum tadi itu untuk apa.

"Kemana kalian akan membawa kami?!" tanya Meadow tiba-tiba. Ah! Benar juga. Pertanyaan itu belum sempat terpikirkan olehku karena aku hanya membayangkan mengapa tadi Mallet melakukan hal itu padaku. Memikirkan itu saja sudah membuat kepalaku semakin pening dan perutku pun lapar seketika.

Setelah Meadow bertanya, suasana kembali hening. Tidak ada yang menjawab bahkan menambahkan. Aku berkerut kening karena mereka seolah tak peduli dengan pertanyaan Meadow. "Hei! Aku bertanya, kemana kalian akan membawa kami?!" ujar Meadow lagi. Masih tidak ada jawaban. Aku menoleh dan melihat orang yang menarik lenganku ini. Aku bahkan tidak tahu apakah orang ini berjenis kelamin perempuan atau laki-laki. Karena pakaiannya hanya menyisakan kedua matanya yang tajam. Orang yang berpostur tubuh tidak lebih tinggi dariku ini memakai topi baseball hitam yang menutupi rambutnya, memakai kain berwarna hitam untuk menutupi sebagian wajahnya, berompi tebal layaknya tentara yang menutupi kaos lengan panjangnya ditambah dengan sarung tangan hitamnya, lalu bercelana hitam kebesaran hingga sepatu boots warna senada. Kurasa orang ini akan menghadiri pemakaman namun dia lebih mementingkan urusannya disini terlebih dahulu. Menyeret orang lain dan menjadikannya sandera. Atau orang ini memang sengaja berpakaian seperti ini agar bisa berkamuflase. Ya, mungkin jawaban kedua lebih masuk di akal. Bahkan orang ini tidak memedulikanku yang sedari tadi mengamatinya atau ikut menjawab pertanyaan Meadow tadi pun tidak ia lakukan. Cih, individualis.

State Of TetraxonsWhere stories live. Discover now