Bagian 9. An Ego

878 77 2
                                    

State Of Tetraxons
Bagian 9.  L'ego

Mata biru itu menatapku seakan meminta pertolongan sedangkan aku hanya bisa tertegun di tempat. aku tak tahu bagaimana cara mengobati luka bakar bekas tetesan air hujan asam itu jika tak ada salep khusus luka bakar yang biasanya dimiliki oleh nenekku. Sedangkan, nenekku bertempat tinggal di Columbus - kota yang aman akan serangan Tetrax. Aku sekarang dalam keadaan serangan panik tahap awal. Nafasku memburu dan gemetar. Aku menatap Blake hendak memberitahu bahwa aku tak bisa sebelum Blake menggenggam kembali tanganku.

"Tenang, Jean! Kau hanya membersihkan luka bakarnya lalu mengoleskan sedikit obat merah yang ada. Percaya padaku!" ujarnya. Aku kembali mengatur nafasku saat dia berkata seperti itu. Aku mengangguk sambil bernafas.

"Baiklah. Bantu aku, oke?" ucapku memastikan. Dia mengangguk kemudian mengeluarkan seplastik berisi peralatan kesehatan yang dia bawa dari ransel hitamnya. Aku mengambil air mineral yang sempat terbuang di meja makan tadi lalu menuangkannya ke kapas sedikit demi sedikit. Aku membersihkan luka bakar di wajahnya. Aku seakan tak sanggup menyentuh luka bakar yang hampir membakar setengah wajahnya. Walau hanya membakar kulit di sekitar telinganya, sudah membuatku khawatir. Hingga luka bakar di kakiku, tak terasa lagi sakitnya. Setelah bisa bertahan mendengar rintihan dan erangan kesakitan dari Blake, akhirnya aku bisa mengobati lukanya. Entah itu akan sembuh atau semakin parah. Tapi, luka bakar itu semakin memerah apalagi ditambah dengan obat merah miliknya. Setelah selesai, aku merapikan alat-alat medis miliknya dan menaruhnya kembali ke dalam plastik putih bening. Setelah itu, aku berdiri dan tak kuasa menahan sakit di kakiku membuatku kembali duduk. Barulah aku tersadar bahwa hujan asam juga mengenai kakiku. Blake yang awalnya menyentuh pelan luka bakarnya, menjadi terhenti karena melihatku kesakitan untuk berdiri.

"Kau tidak apa-apa?" Tanyanya padaku. aku tak bisa menjawab apapun saat kesakitan begini. Aku mencoba melepaskan sepatu bootku dengan hati-hati agar tak terjadi sesuatu yang tidak kuinginkan. Aku berhasil melepaskan sepatu bootku dan kini nampak luka bakar yang semakin merah dan terdapat guratan di kulit sekitar luka bakar itu. Ini lebih parah dibandingkan dengan luka gores hasil tembakan peluru yang ada di lenganku yang juga berdenyut sakit saat mataku melihat luka bakar itu.

"Kau juga terkena air hujan asam, Jean," ucapnya yang kini mengamati luka bakar di kakiku.

"Yeah, tentu! Tak ada yang selamat dalam kejadian ini," jawabku sambil menyisingkan bagian bawah celana panjangku agar tak mengenai lukanya.

"Kemarilah! biar aku obati!" Ucapnya yang kemudian mendekat ke kakiku. Aku tak bisa menolak. Karena aku akan terus merasa kesakitan jika tak diobati. Blake melakukan hal yang sama seperti yang aku lakukan pada luka bakarnya. Namun, kakiku diperban agar tak ada kulit sepatu yang menempel di luka kakiku. Aku bahkan merasa sangat bersalah saat aku tak bisa memperbani luka bakar yang ada di sekitar telinga kirinya. Karena memang dia tak menganjurkannya padaku. Aku pun tak yakin jika air bersih dan obat merah bisa mengobati luka bakar di tubuh kami. Jika ada salep ajaib yang dkirimkan pada kami, kami akan sembuh hanya dengan mengoleskan sedikit pada luka tiga sampai empat hari. Sayangnya, salep ajaib itu hanya ada di Columbus.

Setelah merekatkan plester yang ada, Blake mengatakan bahwa kami akan baik-baik saja selama tidak ceroboh. Sekali lagi, dia menyinggungku dengan kata-kata itu. Aku hanya memutar bola mataku. Berdiri dengan hati-hati kemudian memasang kembali sepatu bootku. Aku berjalan menuju sebuah kursi lalu menggesernya ke depan meja makan yang tadi Blake letakkan makanan di atasnya.

"Aku perlu sarapan," ucapku sambil melepaskan busur, kantung anak panahku, dan ranselku yang tidak lagi berisi makanan ke atas meja. Kemudian, duduk di kursi itu. Blake mendekatiku dan mengeluarkan makanan yang ada di ranselnya; daging hamburger, permen tanpa gula yang terbungkus rapi, dan satu buah apel yang merupakan sisa kemarin. Aku lebih memilih untuk memakan buah apel merah America yang mengandung glukosa alami daripada makanan yang lainnya. Aku harus memasukkan glukosa setiap hari ke dalam tubuhku walau hanya sedikit. Aku tak ingin merasakan akibatnya jika seharian tak mendapatkan asupan gula.

State Of TetraxonsWhere stories live. Discover now