Bagian 12. Unknown Body

804 67 2
                                    

State Of Tetraxons
Bagian 12. Unknown Body

     Perlu beberapa detik aku mencerna apa yang mencakar-cakar kakiku. Setelah tahu, aku berusaha menendang-nendangkan kakiku dan mengeluarkan mata pisau terakhir lalu menancapkannya ke kepala manusia Tetrax ini berulang kali hingga manusia ini tersungkur ke tanah. Untunglah tak ada bekas gigitan atau luka yang terbuka di kaki maupun di badanku. Kakiku yang memakai sepatu boot, menyelamatkanku hari ini. Aku berusaha menendang kembali kepala manusia Tetrax itu beberapa kali agar sedikit menjauh.

Aku merasakan sedikit sakit di bawah telingaku dan menyadari bahwa ada sedikit beling kaca berukuran kecil masih tersangkut disana. Aku pun menariknya pelan dan rasa sakit kembali datang di bawah telinga kiriku. Hanya tergores sedikit tidak akan membuatku terinfeksi. Aku hanya bisa berharap seperti itu.

Ikat rambut ekor kudaku, kulepas. Membiarkan sedikit angin menerpa rambut hitam kecoklatanku yang tergerai hingga bahu. Bisa-bisanya aku terlelap saat hari masih pagi. Tanpa tempat perlindungan dan pengawasan. Aku kembali teringat saat Lilesse -teman akrabku- mengalami kecelakaan di tengah jalan yang merenggut nyawanya. Di saat terakhirnya pun aku tak bisa melakukan apa-apa. Rasa empatiku seakan mati hingga menangis pun aku harus berpikir bagaimana caranya. Aku terlalu khawatir untuk itu. Aku menangis jika aku sedang putus asa. Sebelum kematian Lilesse, masih ada harapan untuknya. Namun, seluruh tubuhku seakan mati rasa. Tak bisa melakukan apa-apa.

Jadilah aku disini.

Rasa penyesalan pasti selalu datang saat kau sudah terlanjur memutuskan/melakukan. Secara harfiah, itu sudah menjadi bagian dari hidup manusia. Dan bagian dari hidupku adalah separuh empatiku hilang.

Aku kembali menyiapkan diriku. Kubiarkan mata pisau tadi menancap di kepala manusia senjata biologi tadi. Aku melepaskan busur yang menggantung di punggung dan kubiarkan berada di genggamanku. Aku berdiri dengan susah payah seetelah merasakan nyeri di sekitar pinggulku karena dihempas oleh mesin rakitan menjijikkan itu tadi malam. Kini, aku mulai mengandalkan anak panah dan busurku.

Sesaat aku melihat ke sekitarku. Tempatku berada beberapa blok sebelum ke tempat dimana aku menjatuhkan amunisiku. Aku harus pergi kesana sebelum anak panahku mulai habis dan rapuh. Aku mengikuti jalan menuju samping hotel yang tempo hari kulewati. Menuju gang sempit yang menurutku semakin sesak. Suara yang familiar terdengar bergema dari kejauhan. Tapi, tak jelas keberadaannya dimana. Aku harus keluar melewati gang sempit ini sebelum terjepit serta bau berkarat yang semerbak memenuhi paru-paruku.

Aku harus bertahan hidup sendiri kali ini. Tanpa ada lagi yang harus kurelakan dan kujaga. Kali ini aku hanya harus berfokus pada hidupku. Pada bagaimana caranya aku bisa ke Columbus atau mungkinkah aku bisa menjalankan misi yang pastinya akan dilakukan oleh ayahku; masuk ke Central dan memborbardir tempat itu dari dalam.

Aku hampir keluar dari gang sempit itu. Sebelum itu, aku melihat ke sekeliling. Udara bahkan daratan kuawasi dengan teliti. Lalu suara mesin terbang bergema di atasku. Aku berusaha menyembunyikan diriku di dalam gang sempit. Saat suara mesin itu sudah hilang dan menjauh ke arah timur, aku keluar dari gang sempit itu dan berlari dengan cara mengendap-endap di samping mobil menuju samping hotel yang pernah kukunjungi. Aku berbelok ke arah samping hotel saat aku melihat sesuatu di depanku sedang bergerak dan berjongkok. Jauh di depanku, aku melihat seorang anak perempuan berumur sekitar enam sampai tujuh tahun sedang berjongkok membelakangiku. Kulihat lebih detail, di depan anak perempuan berambut keriting menggantung dengan warna keemasan itu terdapat seekor anjing yang terkapar dan tak bergerak. Apakah anak itu menangis karena anjingnya mati?

Aku berjalan mendekat dengan pelan. Langkah demi langkah aku mengusahakan bahwa setiap langkah kakiku tak terdengar dan tak menginjak sesuatu.

"Halo?" Panggilku saat jarakku satu meter dari anak perempuan itu. Tapi, tak ada jawaban balik. Anak ini juga tidak berbalik menoleh ke arahku. Dia masih saja membelakangiku.

State Of TetraxonsWhere stories live. Discover now