Bagian 15. Bad Ambition

729 67 3
                                    

State Of Tetraxons

Bagian 15. Bad Ambition

Terjadi jeda waktu yang cukup lama saat suara berat yang menggema terdengar jelas dari luar ruangan remang-remang ini. Mendengarkan sembari berpikir dan berusaha menyangkut-pautkan segala hal acak yang dijelaskannya.

Dendrit-dendrit di jaringan sarafku menerima titik-titik sensorik dari sinapsis-sinapsisnya yang berhubungan. Berusaha mengaitkan informasi demi informasi yang kudapatkan.

Dan sementara waktu, aku mengambil keputusan.

Ayah Blake -Holland Mason- adalah seorang ilmuwan, ahli mekanik, dan orang yang sangat berambisi. Ambisinya itulah yang memiliki dampak bagi dirinya sendiri dan tanpa sadar juga memiliki dampak terhadap orang banyak. Blake berkata bahwa Ayah dan Ibunya tidak akan pernah berpisah. Hanya karena Ibunya yang sakit dan ayahnya yang terlalu sibuk bekerja, mengakibatkan orangtuanya tak saling bicara hingga Ibunya meninggal karena sakit yang parah.

Tepatnya enam setengah bulan sebelum terjadinya invasi, Blake mengetahui bahwa ayahnya pasti akan melakukan sesuatu yang gila. Seperti sebelumnya, Ayahnya yang frustasi karena penemuan pertamanya gagal, Mason dengan ambisinya pergi menuju NASA hanya untuk membuang penemuan pertamanya yang gagal. Saat itu, Blake masih berusia sepuluh tahun.

"..betapa malunya aku sebagai anak tunggalnya saat mengetahui bahwa ayah sendiri melakukan sesuatu yang gila..." ujarnya. Aku hanya bisa mengulas sedikit senyuman.

Kembali ke penjelasannya, ayahnya pun tidak pernah mengetahui apa dibalik semua kegagalannya. Rupanya, penemuan pertama ayahnya ialah sebuah robot pelayan manusia yang memiliki tangan-tangan mesin berjumlah empat. Untuk memperindah, diselipkanlah bentuk belah ketupat memanjang di masing-masing iris mata robot itu yang disebut orang berbentuk segi tetragonal. Menurut ayahnya, robot itu tak berfungsi. Dan siapa yang tahu bahwa robot pelayan yang gagal itu akan berubah menjadi ancaman bagi makhluk di bumi.

Sebelum merakit penemuannya yang kedua, pada awal bulan di tahun 2006, Mason mengetahui pasti akan ada bahaya. Tapi, hanya Mason yang tahu bahaya apa itu sebenarnya. Tak ada satupun -termasuk Blake sendiri- yang tahu mengenai bahaya yang diketahui oleh ayahnya, Mason. Maka dari itu, Blake yang masih berusia dua belas tahun berupaya mengawasi apa yang dilakukan oleh ayahnya setiap pagi hingga malam dengan waktu tidur hanya dua jam.

Sampai pada Ibunya yang meninggal karena sakit pada organ paru-paru, ayahnya masih saja melakukan apapun agar berhasil. Namun, tetap saja gagal pada bulan Februari 2006. Blake tak berhubungan lagi dengan ayahnya saat dia di Denver sedang menekuni kewajibannya sebagai pelajar. Tapi, dia selalu mendapatkan kabar dari orang terdekatnya mengenai keseharian ayahnya sampai pada ayahnya yang depresi dan dimasukkan ke rumah sakit jiwa.

"...Kau tak bisa membayangkan bagaimana rumitnya kehidupanku sejak dulu. Selalu terpisahkan atau dipisahkan dari orang yang seharusnya menjadi orangtuamu sehari-harinya. Sejak itu, aku seakan tak ada tujuan hidup lagi. Seakan kau kehilangan kompasmu sendiri di tengah-tengah padang kering yang hampa..." ujarnya lagi dengan satu tangannya menekan-nekan pangkal hidungnya.

Berat rasanya aku mengakui bahwa sebenarnya aku sedang berempati. Namun, penjelasan tidaklah cukup sampai disitu.

Blake kembali berkata, saat dia bergabung di kemiliteran, dia sempat bertemu dengan figur ayahku. Dia bilang bahwa aku adalah orang yang beruntung karena memiliki seorang ayah seperti ayahku. Mereka berdua berbincang-bincang mengenai banyak hal.

Tidak penting, memang. Namun, baginya itu sangat berkesan.

Dan beberapa bulan sebelum invasi terjadi, Blake sempat menemui ayahnya di rumah sakit jiwa di New York. Blake selalu bertanya pertanyaan-pertanyaan yang berbeda. Namun, ayahnya menjawab pertanyaannya dengan jawaban yang sama. Dia khawatir, pastinya.

State Of TetraxonsWhere stories live. Discover now