Bagian 3. Another Survivor

1.4K 114 3
                                    

State Of Tetraxions

Bagian 3. Another Survivor.

"Jean!" Panggil ayahku di seberang tersenyum sambil melambaikan tangannya agar aku menghampirinya. Aku yang sedang berbicara pada seorang prajurit, terpaksa memutus pembicaraanku mengenai manuver-manuver yang dilakukan di kemiliteran. Aku pun berjalan permisi melewati prajurit muda itu, "Hmm, prajurit Hampston, saya permisi dulu ya? Karena ayah saya sudah memanggil." Ucapku dengan sopan.

"Oh, iya. Terima kasih atas kunjungannya, Nona Foxter!" Jawabnya seraya tersenyum. Aku pun membalas senyumannya dan berjalan menuju ayahku yang semakin keras meneriakkan namaku.

"Iya, iya, ayah. Aku masih mempunyai telinga." Ujarku sambil tersenyum meledek.

"Ayo kita pulang! Ini sudah sore. Pasti ibumu sudah mencarimu kemana-mana." Ucap ayahku sambil merangkul pinggangku. Kami pun berjalan menuju parkiran mobil. Aku yang memakai kemeja merah maroon, celana jeans warna hitam panjang, sepatu kets hitam dan rambutku yang kubiarkan terurai, masuk ke dalam mobil. Begitu juga dengan ayahku yang sekarang sudah duduk di kursi kemudi dan mulai menjalankan mobil.

"Bagaimana percakapanmu dengan prajurit Hampston, Nona Foxter?" Tanya ayahku yang membuatku melongo sendiri di kursi penumpang.

"Ayah! Sudahlah! Lupakan! Aku dan prajurit Hampston hanya sekedar teman. Bahkan kami baru kenal kemarin. Yeah, dia pria yang cukup menyenangkan. Dan tadi kami sedang membahas tentang manuver dalam militer, keampuhan peluru yang tumpul sampai bergerilya dalam perang." Jawabku sambil menyampirkan beberapa helaian rambutku ke belakang telinga. Dan kami sudah masuk ke perkomplekan rumah kami.

"Benarkah? Lalu... apakah dia sudah mengajakmu untuk kencan?" Tanya ayahku sambil menyetir yang kutahu itu adalah godaan ayahku yang berhasil membuatku tersipu malu sambil menatap ayahku dengan kesal.

"Come on, Dad?!" Jawabku seraya memukul lengan ayahku. Saat itu pula sebuah mobil lain menabrak mobil kami dengan keras dari depan. Hingga terdengar suaraku yang berteriak.

Dan saat itu pula aku terbangun dari tidurku.

Aku mengerjap-ngerjapkan kedua mataku sambil menelusuri ruangan yang tak asing bagiku; Ruang aula hotel. Ya, ternyata aku masih ada disini dan kembali menikmati kehidupan dengan menghirup udara hampa untuk kesekian kalinya. Aku berusaha bangun dan mendapati salah satu lenganku yang sakitnya luar biasa dan membuatku merintih. Dan aku baru tersadar bahwa luka gores akibat peluru malam tadi, masih menganga di lenganku yang urat-uratnya sudah mulai membiru. Luka gores serta bercak darahnya sudah mulai mengering di kulit dan kain bajuku. Kulihat di sampingku sudah banyak darah tercecer. Separuh dari darah itu adalah darah dari seorang mayat yang terbujur kaku dengan mata terbuka, tergeletak di lantai yang dingin. Seorang polisi gadungan yang mati karena pelintiran tanganku di lehernya.

Sekali lagi, aku membunuh seseorang. Itupun akibat ulahnya sendiri.

Aku berusaha bangun dan berdiri. Kemudian, berjalan gontai menuju 'benteng'ku tanpa memperdulikan mayat itu. Aku terduduk di lantai dan dengan satu tangan, aku mencari-cari sesuatu yang bisa mengurangi rasa sakit luka gores ini dengan merogoh tas ranselku yang sudah mulai usang.

Aku hanya mendapati sebotol air mineral dan sapu tangan yang di sisinya terdapat nama belakangku. Di balik 'benteng'ku, aku membuka jaketku perlahan dengan satu tangan membantuku. Kaos coklat lengan panjangku yang lengan bagian kirinya, sudah tercemari bau anyir dari darahku yang mengering. Aku mengambil mata pisau dari saku jaketku dan merobek bagian lengan kiri kaos agar aku bisa mengobati lukaku dengan mudah. Aku merobek dengan perlahan namun pasti agar tidak mengenai luka gores itu.

Setelah menyayat beberapa benangnya, aku menarik kainnya hingga robek. Aku merintih tertahan sekali lagi saat luka gores itu ikut tertarik sedikit saat kain tadi kulepas paksa. Dan kini, kaosku seperti tanpa lengan saat aku merobek kain yang menutupi lenganku yang lain.

State Of TetraxonsWhere stories live. Discover now