Bagian 6. Ammunition Before Food

942 86 6
                                    

State Of Tetraxons
Bagian 6. Ammunition Before Food

Tak seperti malam-malam biasanya, aku akan bermimpi buruk hingga berakhir dengan aku yang terlonjak kaget dari tidurku.

Pagi ini adalah pengecualiannya.

Aku tak mengalami sama sekali mimpi buruk. Mungkin karena rumput-rumput kering sebagai 'alas tidur' dan kantung anak panahku sebagai 'bantal'nya. Aku menguap dan meregangkan tubuhku. Baru sadar bahwa lenganku yang luka sudah tidak terasa lagi sakitnya. Berbelas-belas jahitan sudah cukup. Tapi, saat aku mengingat siapa yang menjahit lukaku kemarin malam, aku segera bangun dan melihat ke sekitarku.

  Dia tidak ada.

Sungguh, aku tidak melihatnya dimana pun. Bahkan ranselnya tak terlihat di atas rumput atau bekas tempat dia tidur pun tidak terlihat. Rumput di sampingku tak terjamah sedikit pun. Rupanya dia tidak tidur malam tadi atau dia mencari kesempatan saat aku tertidur pulas, dia dan ransel usangnya kabur meninggalkanku tidur tanpa pengawasan atau perlindungan. Memikirkannya saja sudah membuat hatiku panas bahkan panas itu menjalar ke tubuhku hingga tanpa sadar aku mencengkeram rumput-rumput di dekatku.

Aku mengumpat dalam gumamanku dan merutuki diriku yang mudahnya termakan omong kosongnya. Aku menggelengkan kepalaku lalu beranjak dari tempatku duduk. Aku mendekati danau yang alirannya sangat tenang dari kemarin. Tak ada yang bisa membuat aliran danau ini bergerak. Bahkan daun yang mengapung di atasnya sekalipun. Danau ini seakan sudah mati seperti jiwa kemanusiaan orang lain yang bernasib sama.

Aku membiarkan busur dan kantung anak panahku teronggok di atas tanah yang ada di belakangku. Aku hanya ingin merasakan air danau ini menyapu bersih wajahku yang sudah beberapa hari ini tak tersentuh air kecuali saat minum, itu tak salah, kan?

Aku bertumpu pada kedua kakiku yang kutekuk dan aku menggapai air danau yang jernih dengan menyatukan sisi kedua telapak tanganku agar airnya bisa dengan mudah kuangkat. Setelah itu, aku biarkan air jernih tadi menyapu wajahku. Merasakan sensasi sejuknya air di setiap tetesannya di kulit wajahku yang sempat mengering. Sedikit menghilangkan rasa kantukku dan membuat kedua mataku segar seketika. Hasratku akan air jernih ini membuatku ingin sekali berendam di dalam air danau ini. Sebelumnya, aku mengawasi lingkungan di sekitarku. Setelah dikira aman, aku membuka jaket ayahku. Lalu, berlanjut ingin membuka kaosku.

"Hey, kumohon jangan telanjang disini!" Ucap seseorang. Lekas-lekas aku mengurungkan niatku untuk mandi disini. Untung saja, kaosku masih kupakai. Aku menoleh ke sumber suara. Aku mendapati Blake - dengan ransel usangnya - sedang membawa ranting-ranting pohon. Rambutnya acak-acakkan seperti orang yang baru bangun tidur. Namun, saat aku melihat lingkaran hitam di bawah matanya, aku yakin dia tak tidur semalaman.

"Blake? Ya Tuhan, seharusnya aku sudah tahu kau tidak kabur..." jawabku datar dengan mengalihkan pembicaraan.

"Tentu tidak!" Ucapnya sambil meletakkan ranting-ranting tadi ke tanah. "aku tak mungkin meninggalkanmu disini sementara ada makhluk asing yang mengintai,".

Sekali lagi, hatiku memanas. Bukan memanas seperti biasanya. Hatiku sedikit hangat atas ucapannya. Tapi, di sisi lain dalam pikiranku, aku tak mau termakan omong kosongnya yang sewaktu-waktu bisa saja menjebakku. Aku harus selalu waspada.

Aku hanya mencibir dan memasang kembali jaket ayahku. Lalu mengambil sekantung anak panahku dan melingkarkannya ke punggungku.

"Bagaimana lenganmu?" Tanya Blake sambil berjongkok dan menyusun ranting-ranting tadi. Aku mengambil busurku lalu berjalan menghampirinya.

"Sudah lumayan baik," jawabku dengan santai dan ikut berjongkok di depan ranting-ranting itu. Selagi aku membantunya, Blake menatapku dengan mengangkat satu alisnya dan tersenyum miring. Aku hanya bingung dengan lelaki ini,

State Of TetraxonsWhere stories live. Discover now