Bagian 17. It's Not About Freedom

987 82 5
                                    

State Of Tetraxons

Bagian 17. It's Not About Freedom

Kukunya mencakar dan menggores leherku. Menimbulkan rasa sakit tersendiri bagiku.

Manusia ini terus menggeram dan sesekali aku mendengar kata 'tolong' di sela-sela erangannya. Aku berusaha menendang-nendangkan kakiku dan terus berusaha menjauhkan manusia ini dari tubuhku. Tapi, aku tidak selalu kuat.

"Rrrghh.. BLAKE!!" teriakku.

Detik berikutnya, darah menyembur ke wajahku dan manusia ini dengan matanya yang tajam, menatapku tak bergerak. Anehnya, aku hanya menatap manusia ini yang terdapat ujung potongan besi yang tumpul, tembus ke tempurung kepalanya. Aku segera menjauhkan badan manusia menjijikkan itu dan melihat dari tempatku terbaring.

Blake-lah yang menusukkan ujung besi tadi ke kepala manusia itu hingga menembus tempurung kepala makhluk di depanku ini. Sehingga darah segar memercik ke wajahku dan hampir masuk ke dalam mulutku. Paru-paruku seolah-olah sulit untuk menukarkan oksigen dengan karbondioksida. Blake membantuku untuk bangun dan berdiri. Cakaran kuku manusia tadi terasa sangat sakit di leherku. Saat aku menyentuh leherku, terdapat kulit leherku yang sedikit terkelupas. Perih dan nyeri setelah kusentuh.

"Kau baik-baik saja?" Tanya Blake sambil melihat bercak darah yang menempel pada ujung besi yang dia pegang kemudian membuang besi tadi ke sembarang tempat. Lalu, dia menoleh ke arahku.

"Ya, kurasa aku baik-baik saja," jawabku seperti berbicara pada diriku sendiri sambil menyentuh perlahan luka cakaran di leherku.

Aku mengambil kursi yang ada di dekatku dan meletakkannya di depan meja yang ada di tengah-tengah ruangan. Aku duduk di atasnya sambil mengistirahatkan badanku yang tanpa sadar mulai melelahkan. Setelah pelarian kami dari sarang lawan, aku tak bisa membayangkan bagaimana selanjutnya. Amunisi, makanan, kini semuanya menghilang. Mungkin ada sedikit bekas yang tertinggal yaitu jati diriku sebagai seorang penyintas yang kini masih mempertahankanku untuk hidup pada detik berikutnya. Rencana yang berawal dari misi, kini hilang bersama amunisi.

Aku duduk terdiam sambil berusaha membersihkan bekas percikan darah menggunakan sepotong kain yang kudapat di atas meja yang ada di tengah ruangan ini sebelum darahnya mengering di wajahku. Bisa kudengar kini Blake berusaha menjauhkan mayat karnivora yang tadi hendak memakanku seutuhnya. Sesekali aku meliriknya yang sedang bersusah payah mengangkat mayat itu lalu menaruhnya kembali ke suatu ruangan yang tadinya hendak kutelusuri. Suara berdentum keras di ubin memberikan isyarat bahwa Blake menghempaskan mayat tadi ke lantai tanpa merasa bersalah. Lalu, terdengar suara pintu yang menutup. Setelah itu, bisa kulihat Blake mendekat ke arah jendela yang terkunci. Kaca jendela itu sangat buram dan terdapat goresan yang kasar. Terjadi keheningan yang cukup lama di antara kami. Masing-masing beradu argumen di dalam pikiran. Termasuk aku sendiri. Aku melihat bagian belakang tubuh Blake yang terlihat lelah, bersandar tangan pada dinding di dekatnya sambil menatap keluar jendela.

Entahlah.

Mungkin memang dia sedang bersama pikirannya sekarang. Aku tak ingin bermaksud mengganggunya. Karena aku juga lelah dan masih dalam keadaan tak sadar mengapa bisa aku duduk di kursi ini. Berusaha memutar ulang kejadian demi kejadian yang sudah terjadi hari ini.

Telinga kiriku seketika berdengung kembali akibat air keruh yang masih tersisa di antara gendang telingaku. Hingga aku menekan-nekan kepala bagian kananku. Alih-alih jika suaranya berdengung.

Berhenti. Dengung di telingaku berhenti. Namun, keheningan memang tidak dapat dihindari. Sebenarnya apa yang terjadi pada Blake, hingga dia betah menatapi jendela yang kusam dan berdebu itu.

"Kita bermalam disini hingga besok. Kemudian lima belas menit setelah matahari terbit, kita keluar dari sini. Lalu, seharian penuh, kita akan mencari amunisi untuk bertahan hidup. Suka atau tidak, itu terserah padamu," tegasnya tanpa menoleh ke arahku. Aku berkerut kening karena dia secara sepihak mengambil alih komando. Namun, terdengar dari nada bicaranya yang tidak bercanda, aku sebaiknya menuruti apa komandonya agar dapat bertahan hidup. Mungkin dari sini dia akan menunjukkan bagaimana caranya bertahan hidup saat di medan perang tempo dulu. Tanpa berkata-kata, aku hanya memperhatikannya sedari tadi yang sedang menatap ke luar jendela. Dan sekarang dia memiliki hobi barunya yaitu memandangi ke luar jendela tanpa menatapku saat berbicara.

State Of TetraxonsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang