Liam Payne; "Butterfly"

6K 300 29
                                    

[Warning: Ada self-harmnya gitu. Risiko tanggung masing-masing oke.]

ENJOY!

***

Aku menarik selimut, berusaha menutupi tubuhku dari dinginnya udara malam. Kulirik jam dinding di kamarku, pukul sebelas pas. Aku menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan.

Saat aku memejamkan mataku, mencoba untuk tidur, air mataku malah keluar lambat laun menjadi sangat deras. Mulutku tertutup rapat hingga yang kedengaran hanya sesunggukan dan isakan-isakan kecil. Dadaku terasa benar-benar berat.

"Cindy?" aku mendengar sebuah suara yang aku langsung pastikan bahwa itu adalah suara Liam.

Beberapa detik kemudian, ranjang tempat tidurku bergerak karena Liam duduk di tepiannya. Tangannya menyentuh bahuku yang telanjang, menepuk-nepuknya sebentar. Lalu aku merasakan kehangatan. Liam memelukku, menyalurkan kehangatannya padaku. Tanpa membuang waktu lagi, aku membenamkan kepalaku di dadanya.

Tuhan, aku rindu tempatku dulu. Tempat yang kuanggap paling aman di dunia ini.

Dalam dekapannya.

Tapi tempat itu bukan milikku lagi...

"It's okay, Cindy."

Tiga kata itu cukup membuat tangisku berhenti. Aku juga tidak tahu mengapa. Selanjutnya, aku gantian memeluk bantalku yang sudah basah karena air mataku dan meringkuk di bawah selimut lagi.

"Leave, Liam." kataku dengan suara parau, memunggunginya. "You're not supposed to be in the same room as your soon-to-be sister-in-law at midnight like this."

Aku mendengar Liam mendesah sebelum mengucapkan, "Goodnight, Cindy."

Dibarengi suara pintu tertutup.

*

"Aku melihatnya,"

Aku mengangkat wajahku dari majalah yang sedang kubaca, hanya untuk melihat sepasang mata cokelat gelap menatapku sedih. Tapi dia memalingkan wajahnya saat pandangan kami bertemu.

Aku mengerinyit. "Lihat apa?"

Liam duduk di sampingku, masih enggan untuk menatapku lagi. "Your wrist."

Aku nyaris tidak bisa menjaga diriku agar tetap tegak. Aku menatap lengan kemejaku yang tergulung sampai atas siku. Shit. Tentu saja dia melihatnya dengan jelas. Terakhir kali aku memegang benda tajam dan menggunakannya untuk menyayat tanganku itu tadi malam. Sejak seminggu yang lalu berturut-turut.

Sejak kakakku bilang kalau dia punya rencana untuk menikah bersama Liam.

Liam Payne—satu-satunya orang yang berhasil membuatku melupakan self-harm tapi juga mengembalikanku ke diriku yang dulu lagi, sebelum bertemu dengannya. Menjadi orang yang payah dan tidak berharga, like I used to.

"It's nothing," kataku sembari menurunkan lengan kemejaku untuk menutup bekas sayatan itu namun dia mencegahku.

"Don't." ucap Liam sambil menatapku lurus-lurus. Suaranya terdengar begitu serius sampai aku dibuat merinding. "You're much too good for that, you heard me?" Dia mengerutkan keningnya dan mengacak-acak rambutnya frustrasi. "Aku terlalu peduli padamu dan aku tidak bisa membiarkan ini terjadi."

Aku menggigit bibirku. "Kau... peduli?"

"Aku tidak bisa melakukan apa pun, Cindy. Dia mencintaiku... dia sakit parah...," Liam terlihat seolah-olah dia ingin menangis. Suaranya mulai pecah, bergetar, tak seserius yang tadi lagi. "Satu-satunya hal yang dapat membuatnya bahagia hanya aku. Dan dia penting bagimu, juga keluargamu. Maaf, Cindy, maaf."

Aku mendesah. "Aku tahu."

"Aku punya ide," celetuk Liam, mengeluarkan sebuah sharpie dan dia menggenggam lenganku, menggambar kupu-kupu di atas sayatan-sayatanku yang masih segar dan belum hilang bekasnya.

"Kupu-kupu ini adalah aku," katanya menunjuk gambar yang dibuatnya. "Kau tidak boleh menghapusnya. Kau harus membiarkannya hilang dengan sendirinya. And if you cut, you kill him...," Liam tersenyum lirih, sebuah senyuman yang membuat sesuatu dalam perutku melilit dan dadaku nyeri sekali. "You kill me."

"Everytime you think that you want to cut, gambar sebuah kupu-kupu dan namakan dia dengan nama orang yang kau sayangi. If you cut, any butterfly on you dies. But if they fade naturally, they'll live longer. Semuanya ada di tanganmu, kau yang menentukannya."

Nafasku tertahan. Hari ini aku merasa rapuh, sangat rapuh dibanding hari-hari lainnya. Air mataku menetes ke halaman majalah yang terbuka di pangkuanku. Sial! Kenapa aku tidak bisa mengendalikan air mataku?

“Oke?" tanya Liam.

Aku mengangguk sambil menghapus air mataku.

"I would never kill him." kataku.

Garis wajahnya yang tegas serta sinar matanya yang teduh, menatapku sambil tersenyum. Dia memelukku lagi dan berbisik, "Aku mencintaimu, Cindy. Jangan lupakan yang satu itu."

***

A/N: I got a bit carried away. I hope y'all enjoy reading it as much as I enjoy writing it! :D

L'Éternité et AprésWhere stories live. Discover now