Ed Sheeran; "U.N.I."

3.2K 100 5
                                    

A/N: Just another one shot of mine based on my interpretation of U.N.I. by Ed Sheeran. All thanks to arditaaasophi for the challenge.

ENJOY!

***

Sudah seminggu sejak terakhir aku melihatnya.

Sudah seminggu sejak terakhir aku berbicara dengannya.

Seminggu yang penuh dengan rasa sakit dan kesedihan.

Seminggu sejak kami berpisah.

Aku masih ingat malam dimana dia memasukkan semua pakaiannya ke dalam koper, malam dimana semuanya yang sudah terjalin berakhir dalam sekejap mata.

"Aku harap kau akan menyadari dan menyesalinya, bagaimana kita begitu sempurna karena saling melengkapi." kataku.

Dia tertawa sinis sembari menghapus air matanya. "Believe me, kau bahkan akan lupa padaku dua bulan kemudian."

Aku menarik pergelangan tangannya dan mengerinyit. "Jangan berkata seperti itu," sergahku. "Aku mencintaimu."

"Kau tidak bisa menyuruhku untuk tidak pergi dan bilang kau cinta padaku setelah mengatakannya!" dia menjambak rambutnya sendiri dan berteriak histeris.

Dia menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Mengapa kau tidak membiarkanku pergi, Ed? Aku masih ingin belajar, ingin kuliah. Aku selalu mendukung semua impianmu. Tetapi mengapa kau tidak melakukan yang sama terhadapku?"

Aku hanya menarik nafas dan melepaskan cengkramanku di tangannya.

"Apa pun yang kau katakan, aku tetap akan pergi."

Dengan begitu, dia berbalik menarik kopernya keluar dari apartemenku.

Biru. Atau mungkin hijau, tergantung intensitas cahaya. Aku masih tidak dapat menebak apa warna matanya, tidak peduli berapa lama aku menatapnya. Aku masih ingat ketika aku menemukan ikat rambutnya di bawah tempat tidur pada malam dimana dia meninggalkanku. Masih ada beberapa helai rambutnya yang terdapat di ikat rambut itu.

Aku masih ingat ketika semua orang mengatakan kalau kami akan bersama selamanya dan aku justru tertawa—jenis tawa yang terdengar mengejek. Mungkin itu juga yang menjadi salah satu alasan dia meninggalkanku, dia tidak ingin menghabiskan waktunya bersama orang yang menganggap kalau hubungan kami hanya sebuah candaan.

Hubungan kami berjalan mulus-mulus saja pada awalnya. Aku mengejar impianku untuk menjadi seorang penyanyi dan dia selalu ada di sampingku, menyemangatiku. Sebelum akhirnya dia berkata kalau dia ingin masuk kuliah lagi dan meninggalkan semuanya. Termasuk aku.

Aku meyakinkannya untuk tidak melakukannya dan tetap berada di sisiku. Seberapapun suksesnya dia nanti, aku masih khawatir kalau dia akan merasa sendiri. Aku khawatir akan semuanya yang menghadang jalannya nanti. Aku bilang padanya kalau semua pengorbanan yang dia lakukan, akan benar-benar menjadi berharga. Tetapi dia bilang kalau jika cuma ada satu orang dalam sebuah hubungan yang berkorban, apakah itu bukan egois namanya?

Aku menghancurkan hubungan kami, kami sama-sama terluka dan luka itu masih menganga lebar di hati kami masing-masing, belum mau untuk pergi.

Aku hanya ingin kembali ke hari dimana kami saling jatuh cinta dan merasakan ciuman pertama kami di bawah langit penuh bintang, kami masih muda, sama-sama berumur tujuh belas tahun. Aku berharap aku bisa tinggal di masa itu selama panjangnya sisa hidupku, kami sangat bahagia dan belum tahu apalagi peduli akan apakah masa depan yang telah di rencanakan oleh Tuhan.

*

"...but you live in your halls

and I live in a tour bus..."

L'Éternité et AprésTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang