Prolog

148K 10.3K 354
                                    

"Rachel kenapa nangis?"

Pria berambut klimis itu datang berjongkok di depan anak kecil yang menangis seraya menyusut air matanya yang berderai. Anak perempuan itu menunjuk luka kecil di sikunya dengan wajah memerah.

"Acel jatuh, Pa. Sakit,"

Pria yang disebut Papa tersebut lantas tersenyum mengambil lengan mungil anaknya untuk membersihkan luka tersebut.

"Lukanya kecil gini kok nangis sih?"

"Tapi kan sakit, Pa. Acel nggak kuat," adu anak berumur sekitar delapan tahun itu melengkungkan bibirnya ke bawah. "Tuh, lihat! Siku Acel jadinya berdarah," ucapnya menoleh pada siku yang sedang diobati.

"Darahnya dikit atau banyak?" tanya Papa lembut.

Rachel berkerut. "Dikit,"

"Lukanya lebar atau kecil?"

"Hmm... Kecil,"

Papa memencet luka Rachel pelan menunggu reaksi anaknya terhadap tekanan ibu jarinya itu. "Kamu ngerasain sesuatu?"

Rachel menggeleng.

"Lalu sakitnya di mana?"

Rachel bungkam menatap wajah lembut Papanya, bingung. Tadi sewaktu Papanya belum datang rasa sakit itu jelas terasa makanya dia menangis, tapi setelah Papa datang dan mengobati secara mistis rasa sakit itu melenyap.

Papa menaruh lengan Rachel yang sudah diobati ke atas paha anaknya itu, lalu menghela napas mengelap air mata yang tersisa di pipi lembut Rachel.

"Rachel, mau Papa kasih tahu satu hal?"

Rachel mengangguk polos. "Mau,"

"Luka itu nggak pernah ada rasa sakit, Nak. Kamu jatuh dan terluka, rasa sakit yang ditimbulkan itu karena otak kamu langsung merespon kata sakit. Coba kalau Acel ngeresponnya kata enak rasa strawberry pasti pas terluka Acel nggak akan ngerasain sakit,"

Penjelasan Papa membuat otak kecil Rachel bingung. Dia memiringkan kepalanya masih tak mengerti maksud Papa.

Pria berusia tiga puluh tahun tersebut terkekeh, mungkin bahasa yang dia gunakan terlalu tinggi hingga sulit dimengerti oleh anak berusia delapan tahun.

Dia meletakkan telunjuknya di depan kening Rachel. "Otak adalah pusat tubuh. Apa yang ada di pikiran Acel itulah yang akan Acel rasain di tubuh Acel," Papa mengulum senyuman lembut. "Kalau luka pikiran Acel nggak boleh sakit tapi harus berpikiran kalau itu enak seperti strawberry,"

"Tapi, Pa... Rasanya emang beneran sakit,"

"Iya, Sayang. Emang rasanya sakit. Tapi lama kelamaan Acel akan mulai terbiasa oleh rasa sakit itu kok. Semakin Acel tumbuh dewasa luka sekecil ini nggak ada apa-apanya dibanding luka yang akan Acel terima ke depannya," jelas Papa lalu mengajak Rachel untuk bangkit. "Tapi, sebelum kamu merasakannya. Ayo ubah pikiran Acel untuk jadi orang yang kuat,"

"Buat apa?"

"Supaya Acel nggak gampang jatuh lagi,"

Rachel mendongak memandangi mata Papa yang berwarna kelabu. "Kalau Acel jatuh lagi. Kan ada Papa yang bakalan bantuin Acel untuk bangun,"

"Acel, kamu nggak bisa berharap lebih pada seseorang untuk membantumu berdiri dari posisi jatuh. Mungkin Papa saat ini bisa membantu kamu, tapi Papa nggak janji untuk ke depannya Papa masih bisa bantu kamu."

"Emang Papa mau ke mana?"

Papa diam tak membalas pertanyaan Rachel. Dia mengelus rambut panjang anaknya penuh kasih, mata kelabunya agak berkabut oleh air mata yang mulai menggenang. Hatinya sesak oleh sesuatu yang terus menekan di sana.

"Rachel!"

Seorang wanita melambai dari jarak kejauhan, menyuruh Rachel mendekat padanya. Anak itu menoleh merasa terpanggil oleh seseorang. Setelah mengetahui siapa orang itu wajah kusut Rachel berubah cerah.

"Mama!" lalu serta merta tangan kecilnya menarik kemeja Papa untuk ikut menghampiri Mamah. "Pa, ayo ke Mama!"

Papa menggeleng, sedikit merunduk menyentuh kedua pipi Rachel yang gembul. "Duluan aja. Papa ada urusan sebentar," lembutnya lalu mencubit pipi Rachel gemas. "Anak Papa nggak boleh nangis lagi, ya! Acel harus jadi anak yang kuat!"

"Acel kuat kok! Kan makan bayam terus, Pa!" serunya menunjukan otot-otot bisep tak terlihatnya itu dengan senyuman melebar.

Papa terkekeh mengacak rambut Rachel gemas. "Masa kuat tadi nangis sih Gara-Gara dapat luka kecil?"

Bibir Rachel mengerucut. "Ah, Papa. Tadi kan Acel kaget aja makanya nangis,"

"Alasan," komentar Papa mencebikkan bibirnya lucu kemudian dia terbahak mendapati wajah masam anaknya itu. "Iya deh iya, Acel kuat," pasrah Papa menjawil hidung mungil Rachel pelan. "Kalau emang beneran kuat. Saat jatuh lagi Acel nggak boleh nangis ya?"

"Iya Papa, Acel nggak nangis, ih,"

"Janji sama Papa?"

Rachel mengangguk mencium pipi Papa. "Janji Papa ganteng!" godanya memamerkan sederet susunan gigi yang rapi dan bersih itu ceria.

Papa tertawa menegakkan tubuhnya lagi lalu mengangguk pada wanita di depan sana. Dia menghela napas berat, melemparkan senyuman manisnya pada Rachel.

"Rachel, hati-hati ya, Sayang. Inget pesan-pesan Papa ya."

Rachel mengangguk yakin. Setelah sebentar berpelukan erat dengan Papa, dia pun berlari menyusul Mama yang sudah menunggu. Anak itu terus berlari, bersorak riang memamerkan pada Mama tentang apa saja yang telah dia lewati seharian ini dengan cengiran lebar khas miliknya.

Semejak Rachel memilih untuk ikut bersama Mama dan tak pernah menoleh lagi ke belakang.

Papa tak pernah pulang ke rumah.

Bad Girl's EffectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang