37. Mencoba memulai

55.3K 5.7K 784
                                    

Rachel mengunjungi Dokter Mercury, tidak ada perubahan signifikan yang nampak di hidup Rachel. Dia selesai diperiksa hanya saja ada beberapa data yang menunjukkan perubahan kecil apabila terus ditingkatkan bisa berkembang pesat hingga memperbaiki apa yang selama ini memenjarakannya.

Kelogisan jawaban Rachel serta pandangan perempuan itu terhadap pertanyaan yang dilontarkan Dokter Mercury menunjukkan bahwa ada kemauan di diri perempuan itu untuk maju tidak lagi berhenti di lubang hitam. Jika biasanya Rachel menceritakan soal Raga yang datang ke mimpinya maka kali ini berbeda, hal tidak terduga bisa diucapkan oleh perempuan itu.

"Menurut lo salah nggak sih gue masih suka sama Raga?" tanya Rachel sambil mengetuk jari-jarinya ke atas meja.

Dokter Mercury menyembunyikan senyum geli. "Kamu mau jawaban jujur atau bohong?"

Rachel mendelik. "Jujurlah,"

"Oke," lalu dia memindahkan berkas Rachel ke pinggir meja dan memerhatikan raut wajah Rachel. "Nggak ada yang salah dari kamu masih menyimpan rasa pada seseorang baik itu yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, karena cinta yang datang dari dasar hati merupakan ketulusan yang akan terus terkenang meski salah satu dari kalian ada yang pergi duluan," Dokter Mercury menjelaskan perlahan agar Rachel paham. "Hanya saja kadang manusia terlalu memaksakan diri, dia menolak kenyataan hingga memilih mengunci diri pada kepahitan masa lalu. Ketika menghadapi masa depan yang dilihat tetaplah masa lalunya yang tidak pernah bisa diubah,"

Rachel merenungkan paparan Dokter Mercury, perempuan itu menyilangkan kakinya menatap lukisan pemandangan langit malam berbintang yang terpajang tepat di depan matanya.

"Terus?"

"Dan untuk menjawab pertanyaanmu barusan saya bisa katakan tidak dan ya. Tidak salah karena itu berarti kamu sangat menyayanginya, rasamu tulus tanpa memandang siapa dia. Ya salah karena rasa sayang kamu tidak sadar sudah melewatkan banyak kesempatan hidup yang dapat membuatmu bahagia," Dokter Mercury menopang dagunya mengamati Rachel. "Bukankah kamu pernah bilang kalau Raga tidak suka melihatmu menderita lalu kenapa sampai sekarang kamu masih membuat dirimu terjebak di situasi sulit?"

Pandangan mata Rachel turun, dia jadi resah. Bimbang antara harus mengatakannya atau tidak namun dia butuh nasihat, saran dan bimbingan seseorang yang lebih ahli. Dokter Mercury tentu saja mengerti dirinya karena dialah yang sudah membantu Rachel selama ini. Menarik napas dalam Rachel memberanikan diri mengangkat kepalanya.

"Kalo gue berpaling ke orang lain, ada jaminan gue akan bahagia?" ragunya.

Dokter Mercury mengulas senyum. "Itu semua tergantung pada dirimu sendiri. Jangan berharap lebih pada orang lain bahwa dia bisa membahagiakanmu melebihi Raga kalau dirimu sendiri tidak bisa lepas dari bayang-bayang masa lalu," bola mata mereka bertemu, dari sorot matanya Dokter Mercury menangkap ketidakpahaman Rachel. "Karena sadar atau tidak kamu hanya akan memperlakukan dia seperti dulu ketika kamu masih dengan Raga. Hiduplah di masa sekarang di mana kamu dan orang itu saling mengisi, bukan hidup untuk mengulang kesalahan dan kisah yang sama."

Rachel menghela napas panjang, perlu diakui semenjak hubungannya bersama Agra membaik dia tidak lagi memimpikan Raga ataupun melihat bayangan Raga bermunculan. Dulu biasanya Raga tidak akan pernah absen sedikit pun bahkan ketika dia sedang bersama Gara sepertinya Rachel bisa melihat ada Raga yang mengikutinya pergi.

Perempuan itu mengembuskan napas. "Apa... gue bisa melakukan semua ini?"

"Saya rasa dari apa yang baru saja kamu ceritakan hatimu mulai siap membuka diri. Maka dari itu, Rachel, semangat, hidupmu belum berhenti saat Raga meninggal tetapi itu semua permulaan untuk hidup yang jauh lebih baik lagi. Raga pasti senang tahu kamu mau keluar dari kesakitan ini." semangat Dokter Mercury tersenyum hangat sambil meremas tangan Rachel lembut.

T

Ada hal aneh yang Agra tidak mengerti ketika kakaknya itu pulang ke rumah, dia bersandar ke kusen pintu memerhatikan Gara yang tiduran di kasurnya dengan senyum selebar mungkin. Berusaha mengenyahkan firasat yang hadir di hati dia memerintahkan Gara berhenti dan segera turun tapi bukannya menurut lelaki itu malah semakin menjadi.

Gara tidak pernah seakrab ini dengannya, biarpun mereka saudara kandung. Hubungan keduanya memang tidak sebaik saudara kandung lainnya, Gara yang kikuk dan cenderung diam sama seperti Agra. Mereka hanya menyatu jika ada Raga dan satu-satunya orang yang akan bertingkah songong dengan berguling di atas kasurnya hanyalah Raga atau Arga-kembarannya.

Malas berurusan sama Gara, Agra beranjak menuruni tangga dia tidak menanggapi seruan Gara yang memanggil namanya berulang kali. Bagi Agra ini tidak wajar, sikap Gara yang biasanya penuh santun dan acuh mendadak jadi semenyebalkan Raga.

Sementara itu di kafe, Tara dan Rachel bersama-sama membantu para pelayan mencatat dan mengantarkan pesanan ke pelanggan. Meski beberapa pekerja meminta dua perempuan itu berhenti keduanya keras kepala, terutama Rachel yang kelihatan bersemangat. Di saat seperti ini imej Rachel yang kasar menghilang digantikan sosok lain yang memukau; lembut.

Sesaat Rachel sedang membenahi meja luar yang langsung menghadap ke matahari dia menyipitkan matanya kesilauan. Siang ini matahari sangat terik, bau asap rokok bercampur polusi sanggup membuat siapa pun terbatuk-batuk, oleh karena itu dia tidak mengizinkan Tara merapikan meja ini sebab dia mengetahui kalau perempuan bermata bulat itu punya masalah pada pernapasannya. Sebuah telapak tangan besar menutupi keningnya disusul tubuh tinggi yang menghalau sinar agar tidak terlalu menerpanya.

Sontak kening Rachel mengerut, dia memundurkan tubuhnya menemukan Agra dengan wajah datar menatapnya intens. "Apa?" tanya Rachel bingung.

Agra mengembuskan napas. "Gue nggak buka lowongan kerja buat pelayan baru," sahutnya pelan.

Rachel mendengus. Jantungannya berontak kala Agra mendekatinya hendak membantu. "Diem aja kenapa sih?!" gerutu Rachel sebal. "Gue cuma lagi gabut jadi mau bantuin."

Agra menahan tangannya yang berniat mengambil gelas kosong, dia menggaruk lehernya linglung. "Oh, sori."

Akhirnya Rachel bisa tenang mengerjakan tugasnya. Ketika dia berbalik berjalan menuju kafe, dia menangkap siluet Gara dan Angel masuk ke dalam. Percakapannya dengan Dokter Mercury 2 jam lalu pun terngiang kembali di mana Dokter Mercury menyarankan Rachel menjauhi dulu orang atau benda yang bisa mengingatkannya sama Raga, dia sudah memindahkan seluruh kenangan di ponsel-foto, video dan lagu-ke flashdisk.

Kepala Gara menjulang, dia mencari keberadaan Rachel. Perempuan itu sulit sekali dihubungi padahal dia pulang hari ini ingin memberikan oleh-oleh, dia bertanya ke Tara ke mana Rachel dan Tara mengatakan jika perempuan itu ada di kafe bersamanya. Tubuh Gara berputar menghadap dinding yang dilapisi kaca, dia tersenyum lega bisa menemukan Rachel di sana tanpa menunggu lagi segera Gara berlari kecil menghampirinya.

"Hoi, Cel," sapa Gara ramah, dia menunjukkan bingkisan kecil kepada Rachel yang memasang wajah datar. "Gue beliin lo makanan khas Bandung, kesukaan lo!" Rachel menelan ludah. Gara melihat perubahan di diri Rachel lantas bingung. "Cel, ada yang salah?"

Rachel memalingkan wajahnya, dia menatap Agra yang sudah berdiri di sebelahnya sambil menenteng jaket hitam yang tadi dia kenakan. "Lo bisa bawain ini?" pinta Rachel menyerahkan nampan, tak berkata Agra menyanggupi.

Lalu seakan dia tidak melihat Gara sama sekali perempuan itu melewatinya acuh. Ego Gara tersentil, dia tidak pernah dicueki Rachel. "Rachel," panggil Gara menarik pergelangan tangan Rachel hingga perempuan itu berhenti. "Ada masalah apa?"

Rachel menguatkan diri, sulit baginya mengatakan sebab Gara sahabat satu-satunya yang dia miliki sekarang dia harus melepaskannya supata bisa melupakan Raga. "Sori," lirih Rachel tidak menaikkan pandangannya, dia lurus menatap jalanan di depannya. "Gue nggak bisa lagi bersama lo karena lo terus mengingatkan gue sama Raga. Gue mau... belajar lupain dia dan menjalin hubungan sehat sama orang lain."

Penuturan Rachel membuat Gara terkejut. Dia melepaskan tangan Rachel karena tidak tahu apa yang terjadi selama dirinya pergi ke Bandung. Rachel dan Agra beriringan masuk kembali ke kafe meninggalkan Gara yang termenung bersama hati yang mendadak terenyuh pedih. Sakit yang tidak bisa Gara jelaskan, sakit yang tidak ingin Gara perlihatkan kepada siapa pun bahwa sekarang dia telah kehilangan Rachel.

Bad Girl's EffectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang