12. Agra dan Gara

45.4K 5.3K 161
                                    

Pulang sekolah, Agra mengernyit melihat Vanilla sibuk mengepak buku-buku. Dia melepas sepatunya dan menaruhnya di rak kemudian mendekati Vanilla yang sore itu tampil menawan menggunakan pakaian pastel kesukaannya.

"Kak, lagi ngapain?"

Vanilla mengangkat kepalanya melayangkan satu senyuman manis. "Oh, hai, Gra," sapa Vanilla menumpuk buku bergambar. "Kakak ikut kegiatan sosial yang diadakan setiap dua kali dalam sebulan, ngajar di kolong jembatan. Ini Kakak lagi rapiin buku-buku bekas yang masih layak dipakai dan beberapa buku yang baru Kakak beli juga,"

Agra mengangguk paham. Dia duduk di sebelah Vanilla turutserta membantu sang Kakak memasukkannya ke dalam kardus.

"Kamu mau ikut nggak? Lumayan kan kamu pinter ilmunya bisa dibagi-bagi," tawar Vanilla.

Agra mengerutkan alis kurang yakin. Dia tidak begitu ahli berbicara apalagi mengajarkan orang lain. Bukannya pelit, Agra memiliki kepribadian yang kikuk dia sulit mengatakan kalimat dengan baik. Agra cenderung mengeluarkan jadi sinis atau dingin. Ilmu berkomunikasi santainya memang sangat buruk tidak heran Agra tidak mempunyai teman dekat sejak dulu kecuali Flavian.

"Ragu aku, Kak,"

"Dicoba aja dulu, ya?" bujuk Vanilla.

Agra menarik napas. "Oke."

Selang menit berikutnya pintu rumah terbuka, langkah kaki menggebu-gebu disusul siulan seseorang mengalihkan perhatian Vanilla dan Agra dari peralatan tulis. Arga-kembaran Agra-melambaikan tangannya ke udara menyapa mereka riang.

"Hai, Kak, Gra!"

"Kamu kenapa, Ga? Seneng banget kayaknya," komentar Vanilla.

Bagai menang lotre Arga tertawa tanpa kejelasan yang pasti. Arga biasanya tidak seceria itu kecuali dia habis mengerjai siswa lemah di sekolahnya untuk bersenang-senang.

"Lo ngebully orang lagi, Ga?"

Arga mendelik sambil membuka pintu kulkas. "Sensi amat lo sama gue, Gra,"

"Gue nanya."

"Gue rasa lo nuduh bukan nanya." tandas Arga.

Agra mendengus tidak menanggapi ucapan Arga lagi. Tiba-tiba lelaki itu berjalan menghampiri Vanilla yang tengah mengambil gunting.

"Kak, aku pinjem mobilnya ya," izin Arga.

"Kakak ada acara, mau dipake mobilnya," Vanilla menyerahkan gunting pada Agra untuk memotong tali rapia. "Kan ada mobil lain di garasi, Gra,"

"Aku nggak tau di mana kuncinya. Papa lagi pergi keluar kota, Mama arisan dan Pak Andre ikut anterin Mama," Arga mengikuti Vanilla. "Udahlah aku pinjem malem ini doang kok. Kakak minta anterin Agra aja, dia nganggur tuh."

Vanilla menggeleng tidak setuju. "Kakak bilang nggak ya nggak. Kamu pasti mau kumpul-kumpul kan sama Demon dan yang lainnya? Kamu biasa pake motor kenapa sekarang mendadak mau bawa mobil?"

Arga menjilat bibir bawahnya. Dia harus bisa bawa mobil untuk mengalahkan lawannya malam ini, Arga tidak tahan lagi terus-menerus lelaki yang menjabat sebagai ketua tim basket itu mendekati sahabat baiknya. Arga tahu lelaki itu tidak baik, dia suka bergonta-ganti pacar.

Jengah mendengar Kakak dan kembarannya berdebat Agra pun menengahi. Dia bilang akan menelepon Flavian untuk masalah transportasi, anak itu pasti dengan suka cita mau menolong Vanilla. Sebab Flavian menyimpan perasaan pada Vanilla sejak kecil, dia tidak pernah jatuh cinta ke lain hati kecuali pada Vanilla yang sayang hanya menganggapnya sahabat dari Adik lelakinya.

Usai Arga naik ke atas, Gara datang. Vanilla menyapa Gara namun lelaki itu tampak serius hingga tidak mengindahkannya. Agra tahu apa yang akan ditanya oleh Gara maka dari itu dia melewati Gara bergitu saja seraya mendekap kardus berisikan buku di dadanya.

"Agra," Gara memanggil Agra. "Jelasin ke gue kenapa lo bisa deket sama Acel?"

Agra mendesah. "Kenapa nggak lo tanya aja ke orangnya sendiri? Bukannya dia cewek yang selama ini lo bela di depan Papa?"

Gara mengeraskan rahangnya. "Jangan main-main, Agra." peringat Gara sedikit menggertak.

Agra berdecih. Meletakkan kardusnya di atas sofa. Tidak menyahut apa pun lagi dia melengos, mengatakan ke Vanilla jika dia sudah selesai membantu. Vanilla yang tidak tahu masalah keduanya pun mengangguk dan mengucapkan terima kasih, perempuan berusia 20 tahun itu hanyut dalam kesibukannya menelepon teman satu relawannya.

Agra menaiki anak tangga dan mandi dengan cepat, 15 menit kemudian ketika dia turun dia tidak menemukan Gara dan Arga hanya Vanilla yang duduk anteng di ayunan sofa.

"Aku udah telepon Flavian dia lagi otw ke sini," beritahu Agra.

Vanilla menengok. "Loh, kamu mau kemana?"

Agra memasang jam tangan. "Ke kafe dulu buat ngecek."

•••••

Kafe Agra selalu ramai pengunjung, dia mengamati semuanya dalam keadaan baik-baik saja. Bisa dibilang perkembangan kafe Agra sangat melesat tinggi membuat kafe berukuran besar dengan tema klasik minimalis itu dikenal oleh berbagai kalangan dan termasuk ke dalam kafe rekomendasi di Jakarta.

Kemudian dia naik ke lantai atas dan menyalakan laptop, hal yang pertama kali Agra lihat adalah penampakan wajah Raga disusul Arga, Vanilla, dia dan Gara ketika mereka sedang berlibur ke London beberapa tahun lalu. Mereka saling berangkulan dan tertawa bahagia ke arah kamera yang dipotret Ayah.

Agra selalu ingat pesan Raga semasa kakaknya itu masih hidup. Pesan yang tidak akan pernah Agra lupakan dan dia berusaha mewujudkannya. Kafe. Inilah keinginan Raga. Dulu, Raga bercerita jika dia mau membuat kafe bersama Agra sebab keahlian Agra berada di bisnis sedangkan Gara cenderung bermusik. Raga bilang dia sudah merencanakan konsepnya Agralah satu-satunya orang yang ditunjukkan gambaran kafe Raga, Gara dan Arga bahkan tidak mengetahui itu.

Meskipun tingkah Raga sangat berandalansesungguhnya dia sosok yang bisa menyatukan semua orang jadi bersahabat. Selainmengutarakan keinginannya membuat kafe, Raga juga berkata bahwa Raga ingin melindungiorang yang dia cintai. Raga cukup berpikiran dewasa dibalik sikapmemberontaknya. Oleh karena itu Agra mewujudkan keinginan Raga enam bulan usaikematian sang Kakak, serta Raga benar-benar melakukan ucapannya jika diamelindungi seseorang yang dia sayangi hingga meninggal dunia.

Bad Girl's EffectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang