39. Pertemuan di loteng

38.3K 5K 771
                                    

Beberapa hari yang lalu...

Sesampainya Gara di rumah Kakek hal pertama yang dia lakukan adalah memerhatikan koleksi fotonya bersama Raga dari kecil hingga akhirnya lelaki itu merenggang nyawa. Tak disangka Kakek masih menyimpannya dengan sangat rapi, dia meraba satu bingkai foto di mana kala itu mereka sedang berlibur ke pantai di Jogjakarta, mereka mengubur setengah badan pakai pasir dan dipotret oleh Papa.

"Gara, ayo istirahat dulu. Kamu pasti lelah baru saja sampai dari Jakarta, macet-macetan di akhir pekan itu sangat memusingkan."

Gara mengulum senyum dia mengikuti kakeknya menaiki anak tangga menuju lantai dua, biasanya dia dan Raga akan tidur di kamar dekat balkon karena tabiat keduanya yang suka memandangi langit malam sambil gitaran. Ketika pintu kamar terbuka Gara takjub sebab hampir barang yang mengisi kamar tersebut kesukaan Raga.

"Wah, Kek, ini kenapa semua barangnya kesukaan Raga?"

Mata tua Kakek seakan sedang bernostalgia bersama kenangan terlama dimemorinya. "Kakek sengaja meletakkannya agar selalu mengingat mendiang cucu Kakek paling nakal itu."

Candaan Kakek sukses menggelitik perut Gara untuk tertawa, dia menggelengkan kepalanya. Usai Kakek pamit kembali ke perkebunan teh dia merapikan koper yang sudah dibawa oleh pembantu ke kamar, dia duduk sejenak di pinggir kasur memerhatikan halaman rumah Kakek yang luas dengan dikelilingi kebun hijau menyejukkan mata. Lantas Gara mengecek jam tangannya yang menunjukkan pukul 4 sore. Masih ada waktu untuk jalan-jalan.

Bergegas cepat Gara sudah berada di pelataran rumah, dia menghirup napas sebanyak-banyaknya lalu mengembuskan perlahan. Rasanya sangat segar ada di sini. Sesaat Gara hendak berjalan menuju pekarangan mengambil sepeda dia dikejutkan oleh sesosok yang memakai baju dan celana milik Raga, dia tidak salah lihat. Meski sekilas Gara hapal betul itu punya Raga segera dia berlari mengejar orang itu yang masuk ke dalam rumah.

Orang yang tadi dilihatnya menaiki tangga belakang rumah di mana tempat itu akan membawanya ke loteng. Sedikit mendongak Gara melirik ke atas mendengarkan derap langkah kaki orang itu tanpa sedikitpun keraguan dia memutuskan untuk menaikinya. Hal pertama yang Gara ucapkan sesaat kakinya berpijak di lantai loteng adalah; astaga. Sebab sejauh matanya memandang dia menemukan barang-barang kuno yang sudah berdebu.

"Raga!" teriak Gara menutupi hidung mancungnya pakai lengan dia mengedarkan pandangan ke penjuru ruangan. "Gue tahu lo di sini!"

Gara terbatuk-batuk, dia menyipitkan matanya menangkap siluet orang yang berbalik badan meninggalkannya. Langsung, Gara mengambil langkah kakinya panjang-panjang bahkan dia nyaris terpleset saking buru-burunya untung saja dia bisa menjaga keseimbangannya kembali. Sesaat pintu yang diketahui Gara sebagai gudang penyimpanan itu akan tertutup Gara menahan memakai kaki di tengah-tengah kusen. Wajah orang itu melongok dari dalam dan betapa terkejutnya dia, begitu mendapati Gara berada di hadapannya dengan wajah memerah.

"Ternyata...," napas Gara tersengal-sengal, dia menaruh telapak tangannya di gagang pintu menarik paksa agar terbuka. "Lo masih hidup, Raga."

Sosok itu membungkam mulutnya rapat-rapat. Dia menjatuhkan kardus begitu saja ke lantai, lantas balik memaksa pintu supaya tertutup. Gara dan orang itu terlibat tarik-menarik pintu kamar. Gara menggigit bibir bawahnya gemeteran, sementara orang itu menguatkan hatinya agar tidak meringis ketika bertatap mata lagi dengan Gara. Sampai 20 menit kemudian, akhirnya orang itu memenangkan perlombaan tersebut. Dia langsung menguncinya dan menyandarkan dahi di daun pintu. Dia mengatur napasnya yang tersengal meski dada masih berdebar antara takut dan bahagia dapat bertemu Gara.

Hidung Gara kembang kempis, dia mengacak rambut ke belakang lalu menggedor pintu. "Raga, keluar sekarang juga, brengsek!" teriaknya setengah merengek.

Tenaga Gara terkuras banyak. Dia memandangi pintu di hadapannya lekat-lekat sambil berpikir ada apa dengan orang yang dia anggap Raga, hingga tidak mau membalas ucapannya. Jangankan membalas, melihatnya pun tak sudi. Apa salahnya Gara? Apa mungkin kali ini dia salah lihat? Dia sedang berhalusinasi karena perasaan bersalahnya belum hilang? Gara menghela napas panjang lantas terduduk lemah menyandar. Dia mengangkat kedua kakinya meletakkan lengannya di masing-masing kaki lalu menunduk. Benar. Sepertinya semua ini hanyalah khayalannya semata.

"Hah..." Gara mengembuskan napas, dia mendengus geli mengingat betapa konyol dirinya menganggap Raga masih hidup. "Gue bener-bener sudah gila mengira lo masih hidup."

Gara pikir dengan berpura-pura tertawa rasa sakit di hatinya bisa membaik namun nyatanya dia malah menangis tersedu-sedu. Dia sangat merindukan Raga, ingin memohon maaf sampai rasanya dia sudah kehilangan akal. Andai waktu bisa diputar apakah Gara dapat menyelamatkan Raga dan mengabaikan egonya yang saat itu tengah menguasai? Dia mengusap wajah frustrasi hendak turun ketika suara pintu di belakangnya berderit pelan.

Mata seseorang yang tadi dia kira Raga memperlihatkan diri. Dia menggunakan masker hitam, rambutnya tersembunyi di balik topi yang dia pakai. Satu-satunya ucapan yang dia lontarkan hanyalah. "Gara, berjanji sama gue lo akan temui pembunuh gue," lalu dia mengedipkan matanya pelan seakan apa yang dia katakan selanjutnya hal yang cukup berat. "Dan, gue mohon bertingkahlah sementara waktu seperti gue karena orang rumah pasti merindukan gue."

Walau Gara tidak tahu apakah orang itu benar Raga atau bukan sebab suaranya terdengar samar karena dia terlalu kaget. Selesai mengucapkannya orang itu menutup pintu kembali dia memandangi pintu pilu. Begitupun sebaliknya dengan Gara yang memandang pintu menderita. Keduanya saling bertatapan meski terhalang oleh pintu.

mendapalP27F1

Bad Girl's EffectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang