34. Dua manusia berbahaya

47K 5.4K 444
                                    

Dikta mendorong pintu apotek tanpa melihat ke depan sehingga tak sengaja dia menabrak seseorang yang hendak masuk. Pria itu lantas terperanjat, segera dia berjongkok meminta maaf pada sosok perempuan yang memakai seragam SMA sedang menunduk sambil memegangi hidungnya yang terkena pukulan pintu kaca keras.

"Aduh! Lo kalo jalan pake mata nggak sih? Bego banget orang segede gini nggak lo liat!" bentak perempuan itu mengusap darah yang mengucur. "Ah, segala berdarah lagi ini hidung gue!"

Kening Dikta berkerut. Dia seperti mengenal suara perempuan di hadapannya, berangsur-angsur perasaan tidak enaknya berubah jadi penasaran. Dia menelisik logo seragam yang dikenakannya, kemudian matanya melebar.

"Gue nggak mau tau ya lo harus ganti rugi! Nih gara-gara lo-" ucapan Rachel terpotong kala dia mengangkat kepalanya bersitatap langsung dengan Dikta. "Papa?"

Jakun Dikta bergerak, dia tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Rachel. tangannya bergetar ingin menyentuh pipi Rachel yang memerah. Tatapan keduanya seakan seorang Ayah dan anak yang sudah lama tidak bertemu. Dengan cepat Dikta menguasai dirinya sendiri, dia berdeham merogoh saku celana mengambil sapu tangan.

"Ah, rupanya kamu," kata Dikta pura-pura tidak mengenali Rachel. "Setiap kita bertemu kamu selalu memanggil saya Papa, apa wajah saya mirip dengan ayahmu?" tanya Dikta geli memberikan sapu tangan itu pada Rachel. "Saya minta maaf, saya tidak berniat melukaimu. Sekali lagi saya meminta maaf, saya harus segera pergi. Semoga harimu menyenangkan, Nak." ujar Dikta membelai rambut Rachel lembut lalu beranjak pergi.

Rachel tidak bisa membiarkan Dikta berlalu begitu saja. Walau Dikta bukanlah ayahnya, tetapi wajah kedua manusia itu sangatlah mirip. Dia ingin berlama-lama sama Dikta biarlah pria itu bukan ayahnya yang penting Rachel dapat mengenang masa lalunya bersama Ayah dengan Dikta sebentar.

"Om," panggil Rachel berdiri, dia meremas sapu tangan punya Dikta kuat. "Om harus tanggung jawab!"

Seruan Rachel mengundang perhatian orang sekitar, mereka berkasak-kusuk berspekulasi bahwa Rachel wanita simpanan Dikta dan mereka ke apotek untuk membeli tespek atau alat kehamilan lainnya. Rachel mengutuk dirinya sendiri yang sudah kelepasan padahal bukan itu maksudnya. Dia mengunci bibirnya rapat-rapat berharap Dikta tidak tersinggung akan sikapnya barusan.

"Ma-maksud saya," perempuan itu memberanikan diri buka suara kembali. "Om beliin saya apa kek, emang Om pikir enak kejedot sama pintu? Liat nih hidung saya berdarah, masa cuma dikasih sapu tangan?"

Dari balik badan Dikta mengulum senyum. Dia tidak memedulikan orang disekeliling mereka yang bergosip, sebab Dikta lebih senang dan peduli akan kehadiran Rachel didekatnya.

T

"Jadi, apa segini aja cukup?"

Dikta duduk di hadapan Rachel. Setelan jas mahalnya persis milik Fredd yang biasanya dikenakan. Pria itu memandangi Rachel dalam, menghiraukan fakta kalau bisa saja dia jadi lemah karena saat ini berduaan sama Rachel.

Anaknya sendiri. Anak yang dia rindukan.

"Hmm..." sorot mata Rachel berbinar-binar menatap seluruh makanan enak yang tersaji di atas meja. Kini mereka berada di sebuah restoran, dia kelaparan dan meminta Dikta membelikannya makanan. "Lumayanlah." komentar Rachel seadanya.

Lalu tanpa mengajak Dikta berbicara lagi Rachel langsung melahap makanannya satu-persatu, Dikta tidak merasakan perutnya berbunyi sama sekali alih-alih meminta sedikit makan dia menonton Rachel yang antusias seperti sudah lama tidak makan.

"Kamu nggak makan berapa lama?" celetuk Dikta bercanda.

Rachel meringis, dia meneguk air putih sebelum menjawab. "Saya lapar, Om, lupa makan," tadi siang dia berbohong sama Agra karena tidak mau mengingat Raga.

Bad Girl's EffectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang