40. Kebenaran

43.1K 4.6K 868
                                    

Puas menonton film bersama-sama Agra hendak mengajak Rachel mengunjungi restoran enak di lantai bawah Mall tapi perempuan itu menolak, dia memaksa Agra menancapkan gas motornya ke daerah pinggiran yang tidak terlalu mencolok dan mewah. Bahkan Rachel menolak ketika Agra menawarkan memakai mobil perempuan itu mengatakan bahwa dia malas kena macet enakkan pakai motor bisa ngebut dan nyalip. Sungguh ajaib sebab selama ini teman-teman Agra di Aussie tidak pernah menggunakan motor bagi mereka itu berbahaya.

Rachel mengarahkan Agra berhenti di tepi jalan di mana banyak motor serta mobil yang berjejeran, seorang tukang parkir meniupkan peluit agar Agra bisa memarkirkan motornya dengan benar. Ketika mesin dimatikan tak perlu menunggu lama Rachel langsung meloncat turun.

"Mie putih, mie kuning atau sayur?" tanyanya antusias.

Agra membuka kaca helm lantas menatapnya linglung. "Apa?"

"Cepet jawab!" desaknya menggoyangkan lengan Agra.

Agra berpikir sejenak meski dia tidak yakin akan jawabannya sendiri. "Eum... Sayur?"

"OKE!" seru Rachel bersemangat, layaknya anak kecil yang baru saja dibelikan mainan baru energi Rachel sangat positif dan ceria. "Bakso kecil, bakso urat, bakso telor?"

"Telor."

"SIP DEH!"

Agra melepaskan helmnya, dia berdecak mengetahui betapa girangnya Rachel saat ini hingga lupa helm yang masih terpasang di kepalanya. Agra menarik tangan Rachel membuat perempuan itu kembali kepadanya, Rachel mengerutkan kening bingung lantas Agra melepas helm putih itu dari kepala Rachel. Sedikit mendengus Agra menyentil kening Rachel pelan.

"Dasar ceroboh."

Rachel tersenyum lebar dia memeletkan lidahnya kemudian melesat pergi duluan untuk memesan. Kala Agra menyusulnya dia takjub akan keramaian warung bakso tersebut, semua meja sudah terisi penuh dia menggaruk kepalanya kebingungan harus duduk di mana. Agra menepuk bahu Rachel, perempuan itu bilang Agra mesti teliti memerhatikan pelanggan siapa saja yang sudah selesai supaya mejanya langsung bisa ditempati sebelum keduluan orang lain.

Selang 10 menit berikutnya Agra berhasil mendapatkan tempat duduk dan tak lama dari itu makanan mereka pun diantar. Aroma kuah bakso menggugah selera, Agra menyicipnya dan tersenyum senang. Pilihan Rachel tidak salah, setelah dingin-dinginan sama AC beberapa jam di bioskop dan hujan memang bakso pilihan yang cocok untuk menghangatkan tubuh.

"Enak nggak?" tanya Rachel menyeruput kuahnya, ketika Agra mengangguk senyuman Rachel kian melebar. "Ah, ya kan! Pasti lo suka,"

"Lo suka ke sini?"

"Iya, bulan kemarin gue iseng cari makan dan nemuin ini, enak banget ya? Seger kuahnya!"

Agra menyunggingkan senyum lantas menghabisi makannya membiarkan Rachel terus berceloteh kalau dia sengaja mengajak Agra makan di sini sebab Agra pasti sudah lama tidak makan makanan khas Indonesia karena selama ini dia di Aussie. Kepala Rachel menengadah, tak sengaja dia menangkap sebuah mobil yang telah dihapalnya di luar kepala tengah berhenti di seberang jalan, kaca mobilnya terbuka menampakkan satu pria yang bikin suasana hatinya meradang.

"Cih, si brengsek itu ngapian sih ke sini?"

Merasa heran Agra mengikuti arah pandang Rachel. "Siapa?" tanyanya menghadap kembali ke Rachel sebab dia tidak menemukan siapa-siapa.

Begitu ketahuan sama Rachel, Fredd beranjak pelan meninggalkan tempatnya maka dari itu Agra tidak melihat. "Fredd," ketus Rachel. "Bokap tiri gue," Agra menahan sendoknya yang hendak memotong bakso, dia menatap Rachel seolah dirinya sudah tahu. Ya, Agra memang telah mengetahui itu dari cerita Flavian, sahabatnya yang sudah seperti ember bocor.

"Kayaknya hubungan kalian nggak baik," komentar Agra.

"Memang," setuju Rachel. "Gue nggak berharap dia bisa jadi Ayah tiri yang baik buat gue. Nggak sudi juga gue baik sama dia,"

"Kenapa?"

"Karena dia udah bu..."

Seakan ditampar agar sadar Rachel segera membungkam mulutnya, matanya melebar seperti terkejut akan satu hal. Hampir saja Rachel mengatakan alasannya membenci Fredd karena dia sudah membunuh Raga, meskipun Rachel tidak punya kemurahan hati untuk membiarkan Fredd hidup tenang menurutnya bukan sekarang waktu yang tepat baginya menceritakan ke Agra. Alih-alih begitu dia justru malah teringat oleh sesuatu yang kemungkinan Agra mengetahui kebenarannya sebab dia masih belum percaya.

"Agra,"

Agra yang menunggu lanjutan pembicaraan Rachel pun menaikkan sebelah alisnya. "Hm?"

"Bokapnya Angel itu... bokap kandung?"

Lelaki itu menggelengkan kepala. "Om Dikta Ayah tiri," sahutnya rendah. "Kenapa tiba-tiba tanya begitu?"

Mata Rachel terbelalak. "Nggak apa-apa cuma tiba-tiba gue penasaran karena wajah mereka nggak mirip," alibinya. "Terus nyokap dia ke mana? Gue kayaknya nggak pernah liat."

"Ibu Angel meninggal semenjak dia berusia 10 tahun."

Mendengar penjelasan singkat Agra membuat Rachel semakin yakin bahwa firasatnya tidak salah. Pasti Dikta benar ayahnya, kemungkinan Dikta mengalami kecelakaan yang membuatnya amnesia. Itu alasan logis yang bisa Rachel pikirkan dari pertanyaan kenapa Dikta tidak mengenalnya sama sekali.

T

Kembali kepada Gara, selesai bertemu Bima dia langsung memutar motornya ke tempat lapas Melati yang letaknya jauh dari kafe. Dia menghentikan motornya di bawah pohon mangga depan gerbang lapas. Menurut informasi yang Bima dapatkan kedua orang itu datang setiap hari Kamis karena hanya pada hari itulah jam jenguknya bisa sampai malam. Bima tidak bisa menanyakan ke petugas siapa mereka sebab ada banyak orang setiap harinya yang berkunjung, rekaman CCTV juga tidak bisa menangkap sebab mereka menghalangi diri terekam. Seakan-akan semuanya sudah diatur sebaik mungkin.

Gara mengembuskan napas gusar, dia memeluk helmnya sendiri. Seandainya saja Raga ikut bersamanya di sini pasti lelaki itu akan memeriahkan suasana yang sangat sepi ini. Jujur Gara memiliki ketakutan, dia sedang bermain-main dengan pembunuh. Entah itu benar usianya masih muda dan ada dua orang atau bukan. Dia hanya takut nasibnya akan berakhir sama seperti Raga.

Namun dari itu semua dia lebih takut lagi kalau tidak bisa menemukan pelakunya. Gara tahu semuanya telah terlambat, gelang yang berada di foto pun menghilang ketika para Polisi melakukan investigasi. Benar-benar pembunuhan terencana. Untung saja ada satu foto yang berhasil mengabadikannya paling tidak Gara jadi tahu ada harapan yang tersisa baginya mengurangi rasa bersalah yang bersarang.

Selama 1 jam penuh mata Gara terus melotot ke lapas, dia sampai kelelahan dan nyaris tertidur. Tidak ada tanda-tanda seseorang yang keluar dari sana. Gara mengecek jam tangan, jarum panjang telah menunjukkan angak 8 malam. Besok dia ada presentasi, alhasil Gara menyalakan motornya kembali. Ketika dia tengah bersiap-siap untuk pergi dari spion Gara melihat seorang perempuan keluar disusul lelaki di belakangnya. Dia mengamati sepatunya, itu bukanlah sepatu yang sama dengan di foto. Menganggap usahanya kali ini gagal Gara pun mengembuskan napas dan menggas motornya ke jalan raya.

Selepas Gara pergi kedua orang itu memakai topi hitam serta maskernya lagi. Mereka berdiri berdampingan sambil memandangi jalanan yang kosong. Batin keduanya sama-sama menjerit untuk bebas dari segala dosa yang mereka pikul, ada penyesalan dan kegelisah yang mereka pendam namun tidak bisa diberitahukan karena itu akan memperkeruh keadaan yang ada.

Bad Girl's EffectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang