26. Rasa bersalah

42.3K 4.8K 493
                                    

Setahun lalu...

Lapangan olahraga tampak ramai akan keberadaan anak kelas 11 yang sedang bermain bola. Dua di antara mereka menarik perhatian kaum perempuan untuk menjeritkan namanya di pinggir lapangan, kadang ada juga yang salah sebut karena keduanya memang sangat mirip. Bagi yang tidak menyukai dua lelaki kembar itu justru bingung bagaimana fansnya bisa membedakan antara Gara dan Raga yang sama-sama menawannya.

"Gar, senyumin dululah cewek-cewek," suruh Raga melambaikan tangannya yang disambutan jerit tertahan perempuan.

Gara terkekeh menggelengkan kepala. "Masih aja lo seneng bikin anak cewek klepek,"

"Lah gue kan cuma bales nyapa, nggak ngapa-ngapain. Mereka aja kali yang baper duluan," papar Raga cengengesan.

"Kalo lo nggak ladenin, mereka nggak bakal berharap," kilah Gara.

Raga mengedikan bahu acuh. "Bodo amat ah gue nggak ada niat mau main-main juga. Udah punya Rachel."

"Serah lo dah ya." nyerah Gara, malas.

Saking sibuknya mereka berbincang, hingga tidak menyadari kalau bola yang harusnya ditahan Gara melesat, menggelinding jauh ke luar lapangan. Otomatis tim Gara mengeluh akan konsentrasi Gara yang buyar di saat-saat serius seperti ini. Pasalnya jika mereka kalah hukumannya membelikan makanan serta minuman di kantin untuk tim lawan.

Gara meminta maaf kemudian bertanggung jawab mengambil bola itu kembali. Dia menyusuri jalan setapak yang akan mengantarkannya ke gedung belakang yaitu gudang. Beberapa kali Gara terbatuk akibat debu yang berterbangan, di sudut tembok Gara menemukan bolanya bersandar di sana lantas dia bernapas lega.

"Digiaga migintaga kigitaga buguatga bugunuguh Ragagaga,"

Tak sengaja Gara menangkap percakapan aneh, dia mengerutkan kening karena tidak terbiasa mendengarnya. Sedikit mengintip Gara melihat lelaki berambut cepak di balik tembok tengah berbicara dengan seorang perempuan yang lebih pendek darinya, Gara tidak bisa melihatnya secara jelas sebab takut ketahuan.

"Gigilaga yaga igitugu ogoragang? Agapaga sih magaugu digiaga? Bugunuguh ogoragang? Guguege nggagak magaugu!" sentak perempuan itu memijit pelipisnya.

Lelaki yang berdiri di hadapannya menghela napas berat. "Guguege jugugaga nggagak magaugu. Tagapigi agapaga yagang bigisaga kigitaga lagakuguigin digiaga megengagancagam pagakege kegekuguagasagaannyaga lagagigi."

Malas terus menguping Gara memutuskan meninggalkan gudang, toh tindakannya dinilai tidak sopan. Gara mengangkat kedua bahunya acuh lantas berderap hendak kembali ke lapangan.

"Gue nggak bisa," suara perempuan itu agak meninggi. "Lo tau kan gue suka sama Raga?"

Spontan kaki Gara tertahan.

Tubuhnya membeku. Gara baru saja mendengar nama Raga disebut oleh mereka, otak lelaki itu merespon cepat. Dia tidak bisa menerjemahkan kalimat sebelumnya tetapi dia jelas tahu kalimat yang barusan. Gara mengambil kesimpulan bahwa mereka sedang membicarakan Raga, karena Gara tidak mengerti dan tidak ingin memperpanjang masalah dia menganggap apa yang dia dengar hanyalah angin lalu. Palingan perempuan itu salah satu dari sekian perempuan lain yang menyukai Raga.

Sayangnya, seminggu kemudian Gara menemukan Raga yang sudah terkapar dalam dekapan Rachel. Tidak bernapas. Tidak bernyawa. Lelaki itu menutup matanya dengan tenang, seakan Raga tidak lagi ada di dunia yang telah membesarkannya tersebut.

•••••

Gara mengerjap. Dia tersadar dari lamunan, lelaki itu mengeratkan genggamannya pada bola yang menggelinding ke gudang. Setiap kali Gara melewatinya atau berada di area gudang dia jadi terbayang setahun silam waktu tanpa sengaja Gara memergoki dua orang sedang membicarakan Raga. Meski Gara tidak mengerti dibalik percakapan mereka. Gara baru memahaminya usai Raga meninggal. Tetapi bukan berarti Gara masih ingat suara mereka, yang Gara tahu kemungkinan besar kematian Raga diakibatkan oleh mereka.

Bad Girl's EffectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang