7. Judes

79.1K 4.7K 118
                                    

Tak lama kemudian Salwa keluar dari dalam rumah dengan mata memerah.  Air mata hampir tumpah dari sudut pelupuk mata.  Tak mau ketahuan sedang menangis, Salwa segera mengalihkan pandangan saat bertukar pandang dengan Ayub.  Tapi tetap saja Ayub mengetahuinya.

Perempuan paruh baya berpenampilan glamour menyusul keluar dari dalam rumah.  Dengan muka sinis dan berkacak pinggang, perempuan bertubuh gemuk itu mengangkat dagu dan memicingkan mata.  Lalu ia mengunci pintu rumah dengan gerakan kasar.

“Ada apa ini, Mak?”  Ayub mengedarkan pandangan ke sekitar.

“Rumah ini kukunci,”  ujarnya sembari melirik Salwa sewot.

“Bukan maksudku ikut campur, tapi kenapa harus dikunci?  Lalu Salwa….”

“Dia harus angkat kaki,” potong Mak Lina.  “Dia nggak bisa bayar kontrakan.  Memangnya dia mau bayar pake apa?  Kalo ada sepuluh orang kayak dia, aku bisa rugi.”

“Salwa sedang berduka.  Seenggaknya kita bicarakan baik-baik dulu.”

“Udah hampir dua minggu sejak ayahnya meninggal loh aku nggak nagih uang kontrakan.  Tapi selama itu dia nggak bayar-bayar juga.  Kurang baik apa aku sama dia?  Sekarang pas kutagih, dia cuma bisa mangap.  Ya udahlah, dia harus angkat kaki dari sini.”

“Kasih kesempatan beberapa hari lagi untuk Salwa nyari tempat tinggal yang baru.”

“Bukan urusanku.  Aku udah baik banget ngasih dia tumpangan gratis selama hampir dua minggu.  Kalo dia mau, dia bisa tinggal di masjid, itu kan rumah Allah.  Siapa aja bisa tinggal di sana.” Mak Lina kembali melempar lirikan pedas ke arah Salwa.

“Rumah Allah untuk tempat beribadah, Mak.  Bukan tempat penampungan,” terang Ayub.  “Untuk shalat, ngaji, berdoa, dan berbagai kegiatan yang berkaitan agama.  Kalo ada puluhan orang tinggal di tempat ibadah, maka masjid bisa beralih fungsi, bukan lagi sebagai tempat ibadah, tapi tempat memasak, makan dan tidur.  Lemari tempat menyimpan Al Qur’an akan diganti dengan piring-piring dan gelas, lantai tempat sujud akan diganti dengan puluhan orang yang berjejer tidur kayak ikan asin.  Tempat wudhu diganti dengan antrian orang mandi.  Sebagai umat muslim seharusnya mengajak meramaikan masjid ibadah, bukan malah mengalihkan fungsinya.”

Perfect, gaya bicara Ayub yang berwibawa, berhasil membuat Mak Lina takluk dan tidak bisa membantah.  Bukan hal sulit bagi Ayub meluruskan kebenaran, mengajak kebaikan dan menasihati seseorang.  Sebab selama di pondok, ia sudah terbiasa berceramah. 

Mak Lina garuk-garuk kepala meski tidak gatal.  Menyadari kesalahan ucapannya.

“Sekarang gini aja…”

“Bukannya aku yang diusir, kenapa malah kamu yang repot?” hardik Salwa memotong ucapan Ayub. 

Ayub sampai terbengong mendengar hardikannya.  Suaranya yang seharusnya merdu itu menjadi tak enak didengar karena intonasi nadanya tinggi.  Pandangannya pun culas.

“Nah, kamu denger kan?  Kamu nggak perlu repot-repot ngurusin dia.”  Mak Lina berkacak pinggang.  Seulas senyum meledek Salwa.

“Salwa, sesama muslim itu saudara.  Dan sesama saudara wajib saling menolong.  Gini aja, tinggalah di rumah Nur, hanya dia satu-satunya perempuan yang nggak punya saudara laki-laki di sekitar sini.  Aku akan minta ijin padanya.  Mudah-mudahan Nur dan orang tuanya bisa menerimamu.”

Nur, gadis berkerudung yang rumahnya berhadap-hadapan dengan rumah Ayub.  Dia guru TK.  Anak semata wayang dari keluarga mampu. 

Salwa menatap Ayub dengan tatapan tak menentu.  Antara kesal, sedih, marah, ingin menangis, dan ingin menolak.

Cahaya Cinta Dari Surga √ (Sudah terbit) Where stories live. Discover now