11. Mau Nikah Denganku?

80.9K 4.8K 132
                                    

Ayub melepas napas berat mengingat sosok Malik.  Kerjanya hanya main judi dan minum-minuman beralkohol.  Tawa ngakaknya sering kedengaran dari jarak kejauhan.  Suka bikin onar.  Sok jagoan.  Ditakuti banyak orang.  Penampilannya semerawutan.  Rambutnya ikal gondrong.  Seperti tidak terurus.  Padahal ia adalah orang kaya, tapi perilakunya seperti tidak mendapat pendidikan.  Kemana akan dibawa pertanggung jawaban kedua orang tuanya di hadapan Tuhan yang tidak bisa mendidik anaknya itu?

Ayub tersentak ketika tubuhnya tertubruk dan sesuatu yang hangat melingkar di punggungnya.  Jantungnya berdegup saat menyadari sedang berada dalam pelukan seorang gadis.  Ya, Salwa menghambur dan memeluk tubuhnya erat-erat.  Salwa terisak-isak.  Bahunya berguncang gemetar. 

Astaghfirullahal’adzim…  Ayub beristighfar dalam hati.  Jantungnya berdentum kuat dengan irama cepat.  Ini pertama kalinya dalam hidupnya. 

Cobaan!

Untuk sesaat ia membeku di tempat.  Namun kemudian tersadar dan berusaha melepas kedua tangan kecil Salwa yang melingkar di punggungnya.  Lalu mengalihkan pandangan saat melihat Salwa hanya mengenakan sehelai handuk yang membelit paha hingga dada.  Badannya putih bersih, kenyal bercahaya. 

“Salwa, hentikan.  Cepat pakai bajumu,” pinta Ayub.

Lingkaran tangan Salwa justru semakin erat mencengkeram punggung Ayub.

“Salwa!”

“Ayub!”

“Salwa, lepasin!”

“Jangan tinggalin aku!” ucap Salwa disela isakan.

“Oke oke.  Tapi lepasin tanganmu!” nada suara Ayub agak tinggi hingga terdengar seperti perintah mutlak yang harus dipatuhi.

Benar saja, Salwa patuh tanpa sadar dan langsung melepaskan pelukan.  Matanya yang indah tak lagi berbinar.  Rasa takut masih tergambar jelas di wajahnya yang dibanjiri air mata.  Namun ditengah isakan, tatapan menghunus tajam ke mata Ayub.   

“Maaf,” kata Ayub kaku.  Suaranya yang bernada tinggi tadi membuatnya merasa bersalah. 

“Kenapa?  Kenapa kamu nggak mau nenangin aku?  Kenapa malah nyuruh aku jauh-jauh darimu?” gertak Salwa.

Ayub bingung, sekarang kenapa malah Salwa yang marah-marah terhadapnya?  Dan ia harus jawab apa?

“Apa karena kamu itu ngerasa suci?  Atau emang kamu itu beku dan dingin?  Aku nggak minta apa-apa, kok.  Cuma minta perlindungan, minta ditenangin.  Itu doang.”

“A Ak…”

“Apa karena bagian depan tubuhku menyentuh tubuhmu?  Lantas kamu nggak nyaman?”

Pertanyaan apa itu?  Ayub semakin stres.  Sekali lagi saja Salwa melontarkan pertanyaan, mungkin ia akan menjadi gila. 

“Kutunggu diluar.” 

Ayub cepat-cepat keluar dan menutup pintu.  Lalu menyandarkan kepala di pintu.  Kalimat istighfar bertaburan dalam hatinya.  Tarikan nafasnya menjadi tidak beraturan.  Jantungnya masih berdetak kencang. 

Ya ampun, ini lebih mengerikan dari pada perang melawan penjajah. 

“Hei, kamu kenapa?  Kayak dikejar setan?”  Zul kembali dari luar dan menepuk bahu Ayub, membuat Ayub terkejut.  Zul menleiti keringat dingin sebesar biji jagung yang mencuat di pelipis Ayub.  “Kamu keringetan?  Habis ngapain?  Hayooo…”

“Apaan sih?  Mulai lagi ngelantur.”  Ayub menampik telunjuk Zul yang menunjuk ke mukanya.  “Aku nggak pa-pa.”

“Trus ngapa mukamu pucet, keringetan dan…” Zul menyentuh dada Ayub.  deg-degan.  “Nah lo, jantungmu pun kayak dipompa gitu.”

Cahaya Cinta Dari Surga √ (Sudah terbit) Where stories live. Discover now