30. Realy?

66.3K 4.1K 117
                                    

Tiba-tiba aroma tak sedap merasuk ke rongga pernafasan mereka.

"Bau apa, nih?" Salwa mengendus-endus. "Kayak bau gosong."

Spontan tubuh Ayub bangkit berdiri. Berlari ke dapur.

Ikan lele di dalam kuali sudah hitam legam.

"Haha..." Salwa yang berdiri di belakang Ayub malah terbahak.

Cepat-cepat Ayub mengambil serok. Mengangkat dan meniriskannya.

Asap di atas kuali ngepul saking panasnya.

Ayub mengecilkan api kompor. Lalu meraih baskom berisi ikan yang sudah diberi bumbu dan mengantri siap untuk digoreng. Ia menuangkan minyak goreng dari gelen ke kuali karena minyak yang digunakan Salwa terlalu sedikit. Setelah minyak panas, ia memasukkan ikan satu persatu ke kuali.

Sroooong....

Bunyi keras membuat Salwa berteriak kaget. Meloncat ke belakang. Tapi kemudian melangkah maju lagi. Tepatnya berdiri di belakang Ayub. Memperhatikan cara Ayub menggoreng ikan seakan sedang mengambil ilmunya. Setelah agak kering, Ayub membalik ikan.

Beberapa menit, selesai.

Ayub dan Salwa duduk di depan meja makan. Tersaji nasi yang masih panas, tumis buncis, sambal tomat, tiga ekor lele goreng, dan tiga ekor lele gosong.

"Ha haaa..." Salwa terbahak ketika pandangannya jatuh ke piring berisi lele gosong.

"Siapa yang mau makan ikan gosong itu?" tukas Salwa disela gelak tawa.

"Kasih kucing aja," jawab Ayub dengan seulas senyum.

"Iya, nggak baik buang-buang makanan. Mubajir." Salwa menirukan gaya bicara Ayub tempo hari ketika mengingatkannya agar tidak membiarkan makanan terbuang mubajir.

Mereka mulai menyantap hidangan. Dahi Ayub mengernyit ketika merasakan makanan yang melintas di lidah.

"Enak?" tanya Salwa yang belum mencicipi.

"Enak," jawab Ayub sambil merem melek. Ini tumis buncis apa tumis garam? Asiiiin... Demi menghargai jeruh payah Salwa, Ayub memperlihatkan senyum.

Salwa mengambil nasi, lele goreng dan sambal, tanpa tumis buncis. Kemudian melahapnya.

"Sambelnya pedes, tapi garemnya nggak terasa. Lelenya juga nggak berasa. Semuanya tawar, kurang garem," kata Salwa. Tapi ia terlihat lahap menikmati.

"Kenapa nggak makan sayur?" tanya Ayub.

"Aku nggak suka sayur."

"Cewek harus banyak makan sayur, loh," pungkas Ayub berusaha membuat Salwa mencicipi hasil masakannya sendiri. Agar kelak Salwa bisa belajar dari kesalahan, lalu memperbaiki masakannya.

"Kalo nggak makan sayur kenapa?"

"Nggak sehat. Sayur-mayur bagus untuk kulit."

"Biar awet muda?" selidik Salwa menatap serius.

"Banyak manfaatnya, salah satunya melancarkan pencernaan. Awet muda juga."

Salwa berpikir. Kemudian menyendok buncis sedikit. Lalu nyengir saat beberapa potong buncis sampai ke lidah. Tangannya buru-buru menyambar gelas.

Cegluk cegluk... meneguk air mineral. Habis satu gelas.

"Huaaa... Asin banget," tuturnya dengan muka memerah. Agak menunduk malu. "Aku kan lagi belajar masak. Maklumin, ya?" rengeknya.

Ayub semakin gemas melihatnya merengek manja.

"Ya udah, deh. Nggak usah dimakan. Rambut bisa rontok sampe gundul gara-gara makan buncis yang asinnya ngeri gini." Salwa membawa piring berisi tumis buncis menuju ke tong sampah di dekat pintu dapur.

Cahaya Cinta Dari Surga √ (Sudah terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang