35. Rasa Nano-nano

64.1K 3.5K 166
                                    

Kenapa Ayub harus terlambat mengetahui perasaan Nabila?  Inilah jawaban dari sikap Nabila yang mendadak arogan dan kesal pada orang yang telah menabraknya tempo hari.  Jawaban dari kegembiaraan setiap kali bertemu dengannya.  Sayangnya ia tidak dapat membaca sikap Nabila lebih awal. 

Laki-laki mana yang tidak akan jatuh cinta pada perempuan sesalihah Nabila?  Dia gadis yang sempurna.  Ayub juga telah lama mengenalnya.  Tak perlu lagi Ayub meragukan akhlaknya. 

Andai saja Ayub tahu sejak awal, tentu ia tidak akan menyia-nyiakan perempuan seperti Nabila.  Tapi sekarang terlambat.  Mungkin memang inilah jalan hidupnya, tidak berdampingan hidup dengan Nabila.  Ia tidak boleh larut dalam perasaan itu, sebab ia sudah memiliki kehidupan lain.

“Ayub, aku nggak menginginkan perasaan ini ada dalam hatiku.  Dia bersarang, tumbuh dan berkembang tanpa kuminta,” lanjut Nabila.  “Aku bahagia merasakan cinta ini.  Kamu terasa begitu penting di hidupku.”

Mata Ayub berkaca-kaca.  Sekuat hati ia menahan air yang menggenangi pelupuk matanya. 

Salwa menarik napas  panjang.  Meremas ujung bajunya.  Andai saja ia bisa meratakan rumah sakit saat itu juga, maka sudah ia ratakan dengan tenaga super.  Tapi masalahnya sekarang, ia tidak punya daya untuk meluapkan emosinya.  Salwa ingin marah.  Ingin berteriak.  Ingin meronta.  Perasaannya campur aduk.

“Aku mohon jangan berpikir macam-macam.  Istirahatlah.  Masih banyak waktu untuk kita bicara.  Masih ada hari esok,” ucap Ayub.

“Kalau hariku cuma tinggal hari ini, aku takut nggak bisa menyampaikan perasaanku ke kamu.  Kalau aku tertidur dan nggak terbangun lagi, kamu pasti nggak akan tahu seberapa dalam perasaanku ke kamu.  Aku hanya ingin kamu tahu, itu aja.”

Hati Ayub terasa basah mendengar kata-kata Nabila yang begitu dalam.  Kenapa jadi baper?  Tidak.  Ia tidak boleh terjun terlalu larut ke dalam perasaan itu.

“Baiklah, aku udah tahu.”  Ayub tidak tahu kalimat apa yang pantas untuk menanggapi, hanya itu yang bisa ia katakan.  Semoga Nabila tidak memaksanya memberikan jawaban.

Nabila tersenyum.  “Ayub, sebentar lagi kuliah kita selesai.  Gimana kalo kita ngerayain kelulusan di rumahku?  Kita kumpulin teman-teman satu alumni untuk ngerayain, sebagai wujud syukur.”

“Okey.  Sekarang istirahatlah.”

Nabila mengangguk lemah.  Ia memejamkan mata setelah melontar senyum pada Ayub.  Supir yang sejak tadi berdiri di belakang Ayub ternyata tidak berhenti menangis.  Bahkan matanya telah sembab. 

Ayub berjalan menuju pintu.  Supir mengikuti.  Mereka bertemu Ustad Zaki dan istrinya di pintu.  

“Apa yang terjadi dengan putriku?” Ustad Zaki panik.

“Seperti yang kuberi tahu di telepon tadi.”  Ayub menoleh pada Nabila.  Mata gadis itu terpejam.  Kemudian ia keluar dan menutup pintu.  “Leukimia.  Apa Ustadz nggak tau hal ini sebelumnya?  Kenapa sampai separah ini?”  ujarnya dengan suara kecil agar tidak terdengar sampai ke dalam.

“Kami sama sekali nggak tahu, Ayub.  Nabila tampak selalu sehat.  Nggak ada tanda-tanda kesehatannya memburuk selama bertahun-tahun hidup bersama kami.  Dia gadis yang kuat.”  Ustad Zaki berkaca-kaca.  Sementara tangis istrinya telah pecah.

Pandangan Ayub beralih ke kursi tunggu tempat Salwa tadi duduk.  Kosong.  Salwa sudah pergi. 

“Ustad, aku permisi.”  Ayub buru-buru pergi sebelum Ustad Zaki mengiyakan.

Ayub menelusuri koridor rumah sakit.  Bola mata berkeliling mencari, namun tidak menemukan wajah Salwa.  Cepat-cepat ia merogoh ponsel dari saku celana lalu membuka aplikasi kontak dan menggulir nama-nama di sana. Begitu menemukan ID my wife, ia langsung memencetnya.  Terdengar bunyi tut tut tandanya telepon nyambung, namun tidak dijawab.  Diulang sampai tiga kali, sama saja. Salwa tidak menjawab.

Cahaya Cinta Dari Surga √ (Sudah terbit) Where stories live. Discover now