8. Wasiat?

81.3K 4.7K 126
                                    

Motor metik merah masih bertengger di ruang tamu. Sayap dan spionnya pecah, di sisi kiri badan motor terdapat lecet.

Bukankah Salwa sempat bilang bahwa motor itu adalah motor pinjaman? Lalu kenapa motor itu masih di sini?

"Aku nggak berani ngembaliin barang rusak. Aku nggak punya uang untuk memperbaikinya. Aku takut pemiliknya marah." Salwa menjelaskan tanpa Ayub menanyakannya.

Ayub menoleh Salwa yang berdiri di tengah-tengah pintu antara dapur dan ruang tamu. Paras wajahnya masih sama. Sengak.

"Aku permisi pulang," kata Ayub dan berlalu keluar rumah.

Sesampainya di rumah, Ayub langsung menghempaskan tubuh di kursi panjang yang ada di teras. Tepat di sisi Harun yang saat itu sudah duluan duduk di sana mengenakan celana training panjang dan kaos tanpa lengan. Sehelai handuk kecil menggantung di lehernya. Tubuhnya berkeringat, baru saja lari pagi.

"Ayub, apa tadi itu surat wasiat?" tanya Zul lagi. Sebongkah penasaran dalam hatinya membuatnya tak henti bertanya meski sejak tadi Ayub tidak menghiaraukannya.

"Menurutmu?" Ayub balik tanya.

"Lagi ngomongin apa, sih?" Harun meneltiki wajah Ayub yang terlihat bingung.

"Tadi kami baca surat wasiat dari Abah Rasyid."

"Surat wasiat?" Harun menaikkan alis.

"He'emh."

"Isinya?"

"Abah Rasyid berpesan supaya Salwa nikah sama Ayub. Abah Rasyid sangat mempercayai Ayub," jelas Zul.

"Serius? Beneran, Yub?" Harun menyeka dahi. "Dan Salwa baca surat itu?"

Ayub tidak menjawab.

"Trus gimana? Apa kamu mau memenuhi permintaan Abah Rasyid?"

Ayub tampak berpikir. Tidak bisa memberi keputusan.

"Nggak masuk akal." Harun berapi-api dan mengusap wajah kasar. "Itu hanyalah sebuah pesan, bukan kewajiban. Kamu nggak berdosa meskipun nggak nikahin Salwa. Apa kamu mau nikahin cewek yang udah menabrak dan memaki-makimu itu?" Harun mengingat-ingat cerita Ayub beberapa hari lalu mengenai kecelakaan yang membuat kening Ayub memiliki bekas luka. "Mana mungkin cewek culas dan angkuh kayak dia pantas jadi istrimu. Dia egois, nggak punya perasaan. Banyak cewek cantik dan salihah di luar sana yang suka sama kamu. Jangan dia."

"Biar galak, tapi kan cantik. Dia bakalan jadi pemandangan menarik setiap Ayub bangun pagi." Zul nyengir.

"Kamu becanda mulu. Aku serius."

"Kenapa kamu nggak suka kalo Ayub nikah sama Salwa?" Zul menimpali. "Syukur-syukur Ayub sanggup mendidik Salwa."

"Aku sahabat Ayub, aku kepengen yang terbaik buat Ayub," jawab Harun.

"Udah deh, kenapa mesti berpikir serumit itu, sih? Nikah, bulan madu, punya anak. Selesai."

"Ini masalah serius. Harus rumit rundingannya."

"Lagian, kenapa Ayub mesti seperduli itu sama Salwa? Salwa bukan siapa-siapa."

Ayub menatap dua sahabatnya silih berganti. Lucu, dirinya yang diamanahi untuk menikahi Salwa, tapi justru Harun dan Zul yang berdebat.

"Gini aja, kalo Ayub mau sama Salwa, ya nikahin aja. Kalo nggak mau, ya udah nggak usah dipikirin. Gampang, kan?"celetuk Zul merasa pusing dengan tema yang dibahas.

Ayub diam. Siapa saja yang tidak perduli pada urusan kaum muslim maka ia tidak termasuk kepada golongan Rosul. Itu yang ada di kepalanya.

"Ayub, jawab pertanyaanku, kamu nggak akan nikahin Salwa, kan?" Harun berdiri dan menghadap Ayub.

Cahaya Cinta Dari Surga √ (Sudah terbit) Where stories live. Discover now