38. Maksa

63.7K 3.7K 206
                                    

“Kenapa diam?”  Salwa melepaskan diri dari dekapan Ayub.  Menatap suaminya serius.  “Apa itu artinya benar kamu mau ninggalin aku?”

“Kamu ini ngomong apa?  Siapa bilang aku mau ninggalin kamu?  Apa dasar pertanyaanmu itu?  Kenapa tiba-tiba nanya kayak gitu?”

Wajah Salwa merengut dan memerah.  “Nabila itu cantik, kaya, baik, salihah, dia gadis yang sempurna.  Kamu pasti menyukainya, kan?  Trus, apa kamu mau menikahinya?” tanyanya dengan wajah dibalut kecemasan.

Ayub menarik napas dan berpikir lebih dalam.

“Apa hanya karena aku membantu Nabila ke rumah sakit lantas kamu menanyakan pertanyaan ini?” tanya Ayub lembut.

“Sebelum pertanyaanmu kujawab, jawab dulu pertanyaanku.”  Salwa semakin cemberut dengan kecemasan-kecemasan yang membelenggu.  “Apa kamu suka sama Nabila?  Apa kamu berniat menikahinya?  Apa kamu mau ninggalin aku?  Atau kamu mau berpoligami?  Punya istri dua?”

“Ya Tuhan, pertanyaan apa itu?  Kenapa harus ada pertanyaan kayak gini?  Kamu curiga sama aku hanya karena kejadian kemarin?” Ayub memandang mata Salwa yang bening.  Lalu mengusap air mata di pipi Salwa membuat Salwa tertegun sesaat merasakan sentuhan hangat di pipinya.

“Aku mendengar perbincanganmu dengan Nabila di rumah sakit.  Aku denger Nabila ngungkapin perasaannya ke kamu. Kamu juga suka dia ya?”

Sudut bibir Ayub sedikit mengembang.  Artinya Salwa sedang cemburu?  Salwa mulai takut kehilangn dirinya?  Apa ini hanya perasaannya saja?  Yess!!  Ayub merasa kemenangan berpihak padanya.

“I…Iya… dia memang bilang gitu.”

“Apa kamu mencintai Nabila?”

Ayub diam, bingung.  Memangnya ia harus berkata apa?  Aku tidak mencintai Nabila, aku hanya mencintaimu, begitu?  Mencintai istri yang tidak mencintaiku, mencintai istri yang tidak pernah kusentuh?  Kalaupun aku mencintai Nabila, perdulikah dia dengan perasaanku?  Ataukah ini awal dari kecemburuannya?  Batin Ayub bertanya-tanya.

“Jadi bener kamu suka dia?” tanya Salwa dengan intonasi tinggi.

Kali ini Ayub tersenyum penuh kemenangan.  Sepertinya dugaannya benar, bahwa Salwa sedang cemburu.  Tapi Ayub ingin tahu lebih pasti.  Dan ia punya ide nakal untuk mencari jawaban dari keragu-raguannya.  Sepertinya akan menarik jika ia memancing kecemburuan Salwa dengan berpura-pura menyukai Nabila.

“Laki-laki mana yang nggak akan jatuh cinta sama perempuan secantik dan sesalihah Nabila?  Hampir nggak ada yang cacat dari Nabila.  Dia sempurna, dia baik hati,” ucap Ayub dan berhasil membuat wajah Salwa tegang dan wajahnya memanas.  Senyum kemenangan menyungging di bibir Ayub melihat ekspresi Salwa.  “Maaf, Salwa, aku memang menyukai Nabila.  Aku mencintainya.”

Ayub membaca kesedihan Salwa melalui ekspresi yang mewakili perasaan Salwa.  Kata-kata terakhir dari mulut Ayub berhadil membuat mata Salwa berkaca-kaca.  Salwa sedang tertekan dan merasa tersakiti.  Luka di hatinya benar-benar menyemburat ke permukaan wajahnya. 

"Dalam Islam, nggak ada larangan menikah lebih dari satu kali. Menurutku, jika aku menikahi Nabila, maka nggak ada yang salah dari itu. Apalagi tujuanku baik, demi memberi motivasi hidup untuk Nabila. Kamu kan tahu sendiri Nabila sedang berjuang melawan penyakitnya."

Salwa membeku di tempat. Kecemasan, ketakutan, kemarahan berbaur di wajahnya.

"Enggak, Ayub. Kamu bohong," jerit Salwa kesal. "Kamu ingin menikahinya bukan karena demi memberi motivasi hidup untuknya, tapi karena kamu mencintainya."

"Itu alasan kedua."

"Kalo pun Nabila nggak sakit, pasti kamu juga bersedia menikahinya, bukan?"

Ayub pura-pura berpikir, kemudian mengangguk. "Ya, benar. Karena sulit bagiku menolak perempuan sebaik Nabila. Mungkin aku akan menyesal kalau menolaknya. Kesempatan baik itu kadang datangnya cuma sekali."

Sial! Salwa tidak dapat lagi berkata-kata. Lehernya tercekat. Kalimat apa yang pantas ia ucapkan untuk menolak kemauan Ayub? Pantaskah ia berteriak melarang keinginan Ayub? Sementara selama ini, Ayub selalu menerima sikap kasar dan bahkan kata-kata yang tidak jarang menyakitkan darinya. Wajar jika Ayub berpaling dan mencari sandaran lain yang lebih nyaman.

Ya ampun, tanpa disadari, Salwa mengakui betapa buruknya perlakuannya terhadap Ayub selama ini. Lalu kata-kata apa yang bisa ia ucapkan untuk membela diri? Untuk melarang kemauan Ayub itu?

"Kamu jahat!" Salwa memukuli dada Ayub dengan kepalan tangannya.

Ayub menghindari dan berusaha memegangi tangan-tangan kecil yang terus menjulur ke arahnya.

"Salwa, hentikan!"

"Kamu tega ngeduain istrimu? Apa kamu nggak mikir gimana sakitnya perasaanku dengan pengakuanmu ini?"

Ayub berjalan mundur berusaha menjauh dari serangan Salwa. Tapi ia malah jatuh terjerembab ketika kakinya melangkah mundur tidak sempurna, dan menahan napas ketika akhirnya Salwa juga terjatuh di atasnya.

Salwa terdiam begitu Ayub berhasil membekuk kedua tangannya. Mereka bersitatap dalam jarak yang tersisa. Sesaat hening, hanya hembusan napas keras yang terdengar.

Salwa kemudian menduduki paha Ayub. Dengan beringas, ia membuka jilbab hanya sekali tarik. Lalu mengangkat ujung gamisnya sampai ke atas dan menarik kasar hingga gamis tersebut lolos dari kepalanya menuju lantai. Sekarang, penampilannya benar-benar dahsyat. Sepotong kain kecil di dada dan sepotong kecil kain penutup bawah pinggang. Salwa membungkukkan punggung hingga wajahnya mendekati wajah Ayub dan mencium bibir Ayub membuat Ayub mengerjap kaget. Tanpa sadar Ayub membalas ciuman Salwa karena terlena. Ciuman itu, pertama kalinya bagi Ayub.

Ketika tangan Salwa menyentuh pakaiannya yang hanya tinggal sehelai dan akan melepaskannya, Ayub cepat-cepat memegangi kedua tangan Salwa hingga Salwa terhenti dari pekerjaannya.

Ayub memiringkan kepala hingga wajahnya menjauh dari wajah Salwa.

"Hentikan, Salwa!" Mereka bertatapan sangat dekat. Hanya dua centi saja jarak yang tersisa.

"Kenapa? Kenapa? Kamu pengen nikahin Nabila karena pengen melepas nafsu syahwatmu, kan? Sebab ketika denganku, kamu nggak mendapatkan itu. Oke, sekarang ambil keperawananku. Lepaskan benihmu di rahimku." Salwa memberontak ingin lepas dari pegangan Ayub. Namun Ayub tetap memegangi kedua tangan Salwa erat-erat hingga Salwa tidak bisa berkutik.

"Salwa, nggak semua masalah selalu kamu kaitkan dengan urusan syahwat. Menikahi Nabila bukan untuk menikmati semua itu, tapi seperti yang kubilang tadi, untuk memotivasi hidupnya. Karena akulah laki-laki yang dicintainya."

Salwa terpaku. Matanya menyala menatap wajah tampan Ayub. Sungguh, Ayub benar-benar tampan dan menawan. Kenapa ia menyia-nyiakan lelaki sesempurna Ayub? Dan sekarang, hidupnya terasa menyedihkan begitu sadar akan ditinggalkan lelaki yang seharusnya diagungkan itu.

"Kalaupun kamu ingin menikahi perempuan lain, lantas kenapa kamu menolakku?"

"Menolak?" Ayub meninggikan alis.

"Ini kenapa tanganku dipegangi gini? Kenapa kamu nggak mau bermain denganku?"

"Aku nggak mau kita lakukan ini atas dasar kemarahan."

Nafas Salwa yang menderu perlahan memelan. Organ tubuhnya melemas dan Ayub merasakan itu melalui pergelangan tangan Salwa yang dipegangnya tidak kaku lagi.

"Aku sakit, Ayub. Aku benci denger kamu cinta sama perempuan lain, apalagi akan menikahinya."

"Jadi kamu merasa sakit kalau aku menikahi perempuan lain?" bisik Ayub penuh kemenangan.

"Jangan lagi kamu tanyain itu. Istri mana yang nggak sakit ngeliat suaminya nidurin istri yang lain? Kamu pikir diduain itu mudah? Kamu pikir istri yang dimadu itu nggak hancur perasaannya?"

Ayub tersenyum senang.

Bersambuuung...

Instagram : emma_shu89

By
Emma Shu

Gimana menurut kalian chapter ini? Komen yah

Spam komen banyak banyak ya biar ngebut dan semangat nulisnya. Heheeee... Makasih sahabat reader yg baik...

Cahaya Cinta Dari Surga √ (Sudah terbit) Where stories live. Discover now