43. Jangan Coba-coba

77.7K 3.3K 181
                                    

"Ya udah, pergi sana. Kasian temen-temenmu udah nungguin," ucap Salwa.

"Intinya, malam ini aku nggak akan pergi ke sana."

"Apa mau nunggu Nabila menjemputmu kesini baru kamu pergi?"

Ayub tersenyum kecut. Salwa terlalu berlebihan. "Nabila nggak mungkin melakukannya."

"Dia itu cinta banget sama kamu. Hal yang nggak mungkin bisa jadi mungkin. Soalnya semangat hidupnya ada di kamu, bukan mustahil dia juga punya semangat menjemputmu supaya kebahagiaannya menjadi lengkap. Ya, kan?" Salwa mengerlingkan sebelah mata. "Udah, deh. Pergi aja! Ini bukan berarti kamu nikah sama dia, dateng ke undangan doang kok."

Ayub menarik napas dalam-dalam. Kenapa sekarang justru dia yang merasa terluka saat Salwa memintanya memperhatikan gadis lain? Itu sama saja menyerahkan fisiknya pada perempuan lain. Ayub sama sekali tidak mengharapkan kalimat itu keluar dari bibir Salwa. Seakan-akan ia tidak mendapat tempat di hati Salwa.

"Aku nggak akan pergi. Di rumah akan lebih baik," kata Ayub kecewa.

"Itu artinya kamu nggak mendukung Nabila bertahan hidup lebih lama."

Ayub memejamkan mata sebentar. Apa yang dikatakan Salwa benar. Tapi ia merasa heran pada dirinya sendiri, kenapa menjadi sesensitif ini? Disaat Salwa sudah memberi jalan agar ia bisa lebih dekat dengan Nabila, ia malah merasa tertusuk. Permainan yang pernah ia buat dulu, sekarang malah berbalik menyudutkannya. Impas.

"Aku mendukung Nabila dari doa," kata Ayub setelah lama terdiam.

"Ya udah, deh. Bandel banget. Aku nggak bisa komentar lagi." Salwa nyangir. Sesaat ia memandangi wajah Ayub dengan tatapan dalam.

"Ada apa?" tanya Ayub merasa aneh dengan cara Salwa memandang.

"Kamu ganteng pakai sorban itu," ucap Salwa lalu tersenyum dan menutup mulut dengan telapak tangan.

Ayub tersenyum. "Jangan coba-coba menghiburku?"

"Yeeey... Aku nggak menghiburmu. Aku ngomong apa adanya." Salwa bangkit berdiri. Melipat sajadah. Berlalu keluar dan menutup pintu.

Lagi-lagi Ayub tersenyum. Ia meletakkan sajadah di gantungan. Melepas sorban dan menyangkutkannya di hanger balik pintu. Lalu mulai membuka laptop dan mengetik. Naskah babak kedua dimulai.

Sayup-sayup terdengar suara alunan musik diiringi salawat nabi. Acara di rumah Nabila sudah dimulai. Memang tidak semua teman satu alumni diundang, hanya orang-orang tertentu yang dianggap karib.

Ponsel Ayub sejak tadi tidak berhenti berbunyi. Teman-teman yang sudah hadir di sana menelepon menanyakan kehadirannya. Sms juga tidak henti masuk ke ponselnya.

[ Ayub, dimana lo? ]

[ Gk lengkap acaranya tanpa kehadiranmu, Ayub. ]

[ Ayub, kamu dtg kan? Kutunggu ]

[ Kok blm datang, Yub? Dimana? ]

[ Udah rame nih. Sini dong. ]

Ayub tersenyum saja membaca pesan-pesan yang masuk.

Terakhir Zul yang menelpon, langsung ia angkat.

"Dimana Mas bro? kok belom nongol-nongol juga, sih? Kutungguin, nih." Suara Zul terdengar antusias. Nadanya memohon.

"Kalian nikmati aja disana," jawab Ayub dengan senyum.

"Ini maksudnya kamu nggak datang? Gila, men. Mana keren malem ini kalo kamu nggak ada. Intinya, acara nggak bakalan menarik tanpa kamu. Ya ampun Ayub, tega banget, sih? Kamu satu-satunya orang yang membuat segalanya menjadi hidup. Apa kamu nggak kasihan sama teman-teman yang udah nungguin? Pliiis... ayo datanglah. Memangnya apa yang bikin kamu nggak bisa hadir?"

Cahaya Cinta Dari Surga √ (Sudah terbit) Where stories live. Discover now