15. Diledek

81.2K 4.2K 133
                                    

“Halo, pengantin baru!”  Zul menyenggol lengan Ayub.  “Apa kabar?”

Ayub yang sedang berjalan di koridor kampus tidak menghiraukan.  Menoleh sebentar ke muka Zul yang tersenyum lebar lalu pandangannya kembali ke depan.

“Ce’ileee…. Cuek ni yee.  Ditanyain kabarnya gimana kok nggak dijawab?”

“Baik,” singkat Ayub.

“Baru aja nikah penampilan udah beda banget.” Pandangan Zul menyapu penampilan Ayub dari ujung kaki ke kepala.

Ayub tidak menghiraukan.

“Itu mukamu kenapa monyong gitu?  Nggak sedep banget ditengok.  Abis kena tabok setan?” lanjut Zul. 

Ayub meraba wajahnya sendiri.  Kemudian berhenti di depan jendela kaca sebuah ruangan, berkaca sebentar.  Zul benar, ia terlihat tidak bahagia.

Zul meletakkan siku tangan di pundak Ayub, ikut memperhatikan wajah tampan sahabatnya yang memantul di kaca.

“Jelek, kan?  Setan apa yang nabok mukamu pagi-pagi gini?”

Ayub berjalan menuju kantin, dan duduk di salah satu meja.  Zul menarik kursi di depan Ayub dan duduk nyaman di sana.

“Oo… Aku tau, gagal malam pertama, ya?” bisik Zul dengan tatapan nakal dan alis terayun-ayun.  “Kenapa emangnya?  Salwa lagi PMS?  Atau kurang trip?”

“Hus!  Pagi lagi, pikiran udah kotor aja,” desis Ayub.

“He heee….”  Zul terkekeh.  “Jadi gimana malam pertamanya?  Sukses?”

“Kamu tuh ya, isi palanya kesitu mulu.  Dateng ke pernikahanku aja enggak, tapi nanya malam pertama sepanjang kereta api.  Ucapin selamat dulu kek.  Atau apa gitu.”

“Sorry sorry, aku nggak bisa hadir waktu itu.”

“Emangnya kemana?”

“Ada urusan.  Udah, jangan kepo.  Yang jelas urusanku penting banget.  Bukan maksudku bilang pernikahanmu nggak penting, tapi urusanku jauh lebih penting dari nyawaku sendiri.  Sekali lagi maaf, aku nggak bisa dateng di pernikahanmu.”

“Ya udah, pesen bakso gih atau apalah.  Yang penting perut terisi.”

Agak heran, Zul mengangguk dan menuruti.  Ia menemui pelayan dan memesan soto dua mangkuk.

“Tunggu dulu, emangnya kamu nggak dibuatin sarapan sama istri tercinta?” tanya Zul sekembalinya memesan makanan.

Muka Ayub memerah menyadari kesalahan telah memesan makanan, akibatnya si tukang bawel itu menemukan gelagat buruk dalam rumah tangganya.

“Mm… Aku lagi nggak selera makan di rumah.  Makanya sarapan di kantin.”  Ayub bingung harus mencari alasana apa untuk menutupi masalah dalam rumah tangganya, bahwa istrinya tidur bangkong dan tidak memasak untuknya.

“Nggak selera makan di rumah, atau nggak dimasakin?”

Ayub diam saja. 

“Dari mukanya Salwa dan umurnya yang masih kecil, keliatan banget dia nggak pernah nyentuh alat-alat dapur.  Gimana caranya dia ngerti sama tanggung jawabnya, coba?”

“Aku yang akan nyediain makanan siap makan untuknya, bukan dia yang masakin untukku.  Kurasa itu nggak salah.”

“Good.  Suami baik.”  Zul mengangguk-angguk.  “Jadi mukamu nggak fresh itu gara-gara nggak dibuatin sarapan, atau gagal malam pertama?”

“Tu kan, kesitu lagi.”   Ayub mulai geram.  “Berenti ngeledekin aku.”

“Aku nggak ngeledekin, aku tanya serius.  Biasanya pengantin baru itu mukanya cerah berbinar, tapi kamu beda.”

Cahaya Cinta Dari Surga √ (Sudah terbit) Where stories live. Discover now