23. Dinner

63.5K 4K 109
                                    

“Jadi.... tetangga baru yang kami undang makan bersama itu kamu?”  Ustad Zaki tertawa senang.  “Setahuku, Nabila bilang ada teman kampusnya yang menjadi tetangga baru di sini.  Dan dia meminta ijin pada kami untuk mengundang tetangga baru.  Sebagai orang tua, kami pun menyetujui.  Itu niat bagus untuk bersilaturahmi.  Eeh… nggak taunya orang yang dimaksud itu kamu, Ayub.  O ya, kenalkan, ini ibunya Nabila.”  Ustad Zaki menunjuk istrinya yang langsung melontar senyum pada Ayub.  “Masih muda gini udah punya anak gadis sebesar Nabila.  Ha haa…”  ia tertawa dan membuat Ayub ikut tertawa.  “Tetangga adalah saudara yang paling dekat, ketika terjadi musibah dan butuh pertolongan, yang pertama menolong adalah orang yang paling dekat, yaitu tetangga.  Itulah sebabnya menjalin silaturahmi pada tetangga adalah kewajiban.  Inilah salah satu contohnya, mengundang makan bersama,” lanjutnya.

Terjawab sudah kenapa Nabila mengenal baik Ustad Zaki.  Anak mana yang tidak mengenal ayahnya?  Dan buku-buku islami yang selama ini kerap dibacanya, tentu saja buku terbitan perusahaan ayahnya.

“Suatu kehormatan aku diundang makan malam.  Terima kasih.  Sebelumnya maaf, aku datang tanpa membawa apa-apa.”

“Jangan ngomong gitu.  Kami mengundang bukan maksud mengharap apapun.  Kedatangan tamu undangan merupakan kehormatan bagi kami,” tukas ustad Zaki. 

“Kamu sendirian?  Orang tuamu nggak ikut?” sela Nabila.

Ayub melupakan satu hal, mereka tidak tau bahwa ia sudah menikah.  Yang tahu tentang pernikahannya hanyalah warga sekitar perumahan Abi.  Sementara di kampus, yang tahu hanya Zul, Harun dan Baim. 

“Mereka masih tinggal di rumah lama.  Aku disini tinggal bersama….”

Ucapannya terpotong oleh pembantu yang masuk dan berkata, “Permisi Pak, makan malamnya sudah siap.”

“Baiklah, ayo kita dinner.  Tunggu apa lagi?”  Ustad Zaki berjalan ke arah belakang rumah. 

Semua mengikutinya. 

Mereka sudah sampai di taman luas dekat kolam renang.  Beberapa pohon kecil tampak menghiasi setiap sudut taman.  Sebuah meja panjang terlihat mewah dengan menu masakan yang tersaji di atasnya.  Cara penyajian sangat unik.  Setiap satu piring kecil diisi dengan sepotong lauk. 

Mereka duduk mengisi kursi yang tersedia.  Nabila duduk di samping Ayub.  Ustad Zaki dan istrinya di hadapan Ayub.  Dimulai dengan membaca doa, kemudian Ustadz Zaki menyiduk nasi dan memilih lauk. 

Ayub memilih menu kesukaan, ikan bakar.  Sialnya, tangan Nabila berbarengan menyentuh ikan yang sama sehingga Ayub menarik tangannya, urung mengambil.  Nabila juga urung mengambil lauk. 

“Ya udah, kamu aja yang ambil,” ucap Ayub menawarkan.

“Kamu aja.  Aku pilih lauk yang lain.”

Akhirnya Ayub memilih ayam panggang.  Untuk kedua kalinya tangannya kembali menyentuh lauk yang sama dengan Nabila.  Nabila cepat-cepat menarik tangannya dari garpu yang menyentuh ayam panggang. 

“Buatmu aja,” ujar Nabila.

“Enggak.  Aku mau yang lain aja.”

Ayub jadi ragu untuk mengambil lauk berikutnya, takut akan bersamaan lagi.  Ayub menunggu tangan Nabila mengambil lauk terlebih dahulu.  Tapi tangan Nabila tak bergerak karena terlihat ragu.

Akhirnya Ayub mengambil lauk yang agak jauh dari Nabila agar kejadian yang sama tidak terulang lagi.  Ustad Zaki dan istrinya tertawa melihat tingkah Ayub dan Nabila. 

Malam itu mereka benar-benar menikmati dinner sambil mengobrol santai dibelai dinginnya angin malam.   

Langit terang.  Bulan purnama menjadi lampu yang menyinari kebersamaan.  Bintang-bintang bertaburan.  Kenyamanan yang mungkin tidak akan terlupakan. Suasana begitu indah dan damai.

Cahaya Cinta Dari Surga √ (Sudah terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang