21. Pakaian Taqwa

70.3K 4.2K 131
                                    

Salwa semakin menekuk wajah.  Lalu  masuk ke kamar dan menutup pintu dengan hentakan kuat. 

Brak!! 

Astaghfirullah…  Ayub mengelus dada.  Sabar Ayub.  Tuhan menyertai orang-orang yang bersabar. 

“Ya udahlah tunggu disitu.  Dasar cerewet!” teriak Salwa dari dalam kamar.  “Lama-lama aku bisa gila tinggal sama cowok banyak aturan kayak kamu.  Nggak lama lagi akan terdengar berita yang jadi viral, seorang perempuan cantik meninggal kena serangan jantung mendadak, ajalnya lebih cepat gara-gara dikekang dan diberi peraturan gila sama suaminya.  Shit!”  Salwa ngomel-ngomel sambil ganti baju.

Ayub tidak membalas.  Lebih baik diam dan memilih untuk tetap berdiri di dekat pintu menunggu.

Tak lama kemudian, Salwa keluar.  Baju dan celana yang dikenakannya panjang.  Tapi ketat.  Setiap lekuk tubuhnya yang indah tampak jelas.  Kepalanya dibungkus jilbab kecil.  Kelihatan berantakan.  Ujung jilbab diikat ke belakang, membuat jilbab bagian depan yang menutup lehernya terangkat.  Kulit leher dan sedikt kulit dadanya pun terlihat.  Wajahnya masih ditekuk.  Masam.

“Kenapa ngeliatinnya kayak gitu?” ketus Salwa.  “Salah lagi?”

Huuufth…  kembali Ayub menarik napas dalam-dalam.  Kalau Ayub menegur lagi, akankah meja di sampingnya akan terbang dan ia digaplok siku tangan?  Melihat muka bete Salwa saja ia merasa harus berpikir tiga kali untuk menegur.  Tapi ia tidak boleh surut, tidak akan dibiarkannya istrinya memamerkan aurat pada lelaki lain. 

“Kamu benar udah berjilbab.”  Ayub mendekati Salwa dan melepas ikatan ujung jilbab yang diikat ke belakang.  Lalu menguraikan ujung jilbab itu ke depan sehingga terlihat menutupi dadanya.  “Begini akan lebih tertutup.  Apa kamu punya baju panjang lainnya?  Kamu akan terlihat lebih mulia dengan pakaian yang longgar.” 

“Udah pake yang rapet gini masih aja protes.  Pusing aku denger ocehanmu.”

“Aku nggak nyalahin kamu.  Aku hanya berusaha memberi tahu bahwa pakaian ketat justru akan memperjelas auratmu.  Lekuk tubuhmu kelihatan jelas.” 

Semoga kalimatnya tidak membuat Salwa menjadi semakin berang.  Tapi apa yang terjadi setelah itu?

“Yaaah... Salah lagi.  Jadi baju ini nggak pantes?” gertak Salwa semakin kesal.  Ia menarik bajunya kuat-kuat hingga robek sedikit di bagian dada.  Lalu ia melangkah maju membuat Ayub melangkah mundur.  “Mulutmu itu terbuat dari apa, sih?  Besi karatan?  Isi dadamu juga apa?  Buku agama?”  Salwa mendorong dada Ayub dengan telunjuknya kuat-kuat.

Langkah Ayub terhenti ketika tungkai kakinya menyentuh sofa dan terduduk akibat dorongan tangan Salwa di dadanya untuk yang ke dua kalinya.

Ayub diam, bukan maksdunya tidak berkutik.  Tapi mengalah.

Salwa menaikkan lutut kaki kanannya ke atas paha kiri Ayub.  Ayub menahan rasa nyeri akibat pahanya serasa ditekan.

Salwa menundukkan kepala hingga wajahnya berada di atas wajah Ayub.  Dan kini mereka bersitatap dalam jarak satu centi saja.  Muka garang dan tatapan hantu Salwa tidak lantas membuat Ayub takut.  Justru Ayub berharap bisa menaklukkan tatapan sadis itu menjadi lembut.  Entah dengan cara apa.

“Aku muak dan jijik dengan ucapanmu.  Paham?” bisik Salwa.  Saking marahnya, suaranya sampai hampir tidak keluar dan tertahan di tenggorokan.  Kemudian ia meletakkan jari-jarinya di pipi Ayub.  Meraba hidung hingga sampai ke bibir.  Lalu ia tersenyum penuh cemeeh.

“Aku tau kenapa kamu ngelarang tubuhku dilihat laki-laki lain.  Itu karena kamu pengen cuma kamu doang yang ngeliat tubuhku, kan?”  Salwa menarik jilbabnya hingga lepas dari kepala dan melemparnya ke samping Ayub duduk.  Lalu mengerahkan tenaganya kuat-kuat untuk merobek bajunya.  Bagian yang sobek tadi membuatnya dengan mudah merobek-robek hingga bajunya itu lolos dari lengan menuju ke lantai. 

“Udah?”  Salwa meninggikan alis mempertontonkan keindahan tubuhnya.

Tapi Ayub?  Pandangan Ayub tidak beranjak dari mata Salwa.  Ia sadar pemandangan di depan matanya sudah berubah, tapi ia lebih memilih untuk tidak melihatnya.  Masih canggung.  Meski sesungguhnya sudah halal baginya untuk menikmatinya, karena Salwa adalah istrinya sah. 

“Sekarang kamu puas?” Salwa berdiri dan membelakangkan rambutnya yang menutup separuh wajahnya, berusaha mempertontonkan sehelai kain kecil yang melapisi bagian atasnya.

“Kita akan telat,” sahut Ayub tanpa memperdulikan sikap Salwa yang marah namun justru berkelakuan aneh.

“Jangan mengalihkan topik.  Kamu sedang berusaha menguasaiku bukan?  Itu sebabnya kamu melarangku tampil cantik di depan laki-laki lain dengan alasan mereka bukan muhrimku.”  Salwa menjatuhkan tubuhnya di pangkuan Ayub.  Tangannya melingkar di leher Ayub.  Lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Ayub.  Detik berikutnya….

Ayub diam saja saat bibir Salwa menempel di bibirnya.

Satu dua tiga… Beberapa detik berlalu.

“Munafik!”  Salwa berdiri dan berkacak pinggang.  Tubuhnya yang indah terekspos tak sedikitpun membuat Ayub tampak terpana.  Ayub biasa saja hingga Salwa merasa jengkel sendiri.  Karena dugaannya ternyata salah.  Ayub memang sedang mengubah dirinya menjadi perempuan berhijab, bukan karena takut ia akan direbut laki-laki lain.

Sebenarnya bukan Ayub tidak terpana dengan pemandangan itu, tapi ia memang sengaja tidak mau melihatnya dan berusaha menunjukkan sikap seolah-olah ia tidak tertarik.
Hanya laki-laki tidak normal yang tidak mengakui keindahan itu. Dan Ayub, normal.

“Sekarang apa lagi yang mau kamu katakan soal hijab?  Ayo, ngomong!”

“Hijab akan menghindarkanmu dari gangguan para lelaki.  Menutupi auratmu.  Dan masih banyak manfaat lainnya.”

Oh.

Ternyata Ayub justru menggunakan kesempatan itu untuk melanjutkan ceramahnya.  Padahal maksud Salwa ingin membuat Ayub mengerti bahwa ia bosan.

“O ya?  Trus apa lagi?”

“Memakai pakaian ketat sama aja dengan orang berpakaian tapi telanjang.  Pada surat Al-a’raf ayat 26, Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup aurat kalian dan pakaian indah untuk perhiasan.  Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik.  Yang demikian itu adalah sebagain dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.”

Terserah jika Salwa akan semakin marah dengan ceramahnya, tapi ia merasa perlu menyampaikannya.

Salwa menggaruk-garuk telinganya.  Semakin muak. 

“Salwa, pakaian taqwa adalah pakaian orang-orang beriman yang senantiasa menutupi aurat mereka dari pandangan orang yang bukan mahram.  Pakai jilbab itu indah dan terhormat.  Pakaian ketat begini bukan merupakan pakaian takwa?  Al Qur’an itu nasehat.  Semua tentang kebaikan.  Semua tentang petunjuk kepada jalan yang baik.  Ikuti dan amalkan, insyaa Allah berkah.”

Salwa berlari masuk ke kamar. 

Brakkh! 

Ia kembali menutup pintu dengan hentakan kuat.

Subhanallah…  Semoga Tuhan memberi ampunan.  Sabaaar…!!  Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik mukmin adalah yang paling baik terhadap istrinya. 

Jika Ayub marah, lalu membentak, ia takut tidak termasuk ke dalam golongan imam yang baik.  Karena syetan akan mudah memasuki jiwa yang marah.  Menghasut hingga membuat manusia khilaf.  Atau bahkan malah berbuat kejam hingga berujung pada tindakan KDRT.  Semua bermula dari amarah. 

Ayub diam dan berharap tetap bersikap baik.  Ia ingin mengajari Salwa dengan cara yang mulia.  Agar Salwa mencontoh kelembutan dan kemuliaan dari perilakunya.  Sebagaimana dikatakan bahwa laki-laki adalah pelindung perempuan.  Maka tidak selayaknya Ayub bersikap kasar untuk melunakkan hatinya.  Perempuan itu seperti tulang rusuk, jika diluruskan dengan paksa, maka sama saja Ayub mematahkannya. 


(Bersambung…)

Emma Shu

Cahaya Cinta Dari Surga √ (Sudah terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang