29. Berharap Kejujuran

67K 4.2K 134
                                    


Sesampainya di rumah, Salwa mengikuti Ayub memasuki pintu depan.  Mereka berdiri saling pandang di ruang tamu. 

Sunyi.

Setiap melihat Salwa, entah mengapa dada Ayub seperti tertusuk benda tajam.  Seperti diiris sembilu. Pokoknya sakit.  Ada kecemburuan yang membakar hati.  Meski fakta tentang perselingkuhan itu masih ia ragukan, tapi curahan hati Harun telah membuat darahnya mendidih.  Sekuat tenaga ia berusaha menepis rasa panas yang menggejolak di dalam dada dengan mengucap istighfar. 

Ayub menghempaskan tubuh di sofa.  Dengan duduk, kekesalan yang membekap sedikit memudar. 

Alhamdulillah…

“Salwa!” lirih Ayub. 

Salwa yang berjalan ke arah kamar terhenti.  Ia menoleh ke arah Ayub.

“Aku mau bicara,” lanjut Ayub. Ia tak perduli meski Salwa akan menganggap ucapannya sebagai angin lalu dan kemudian Salwa pergi meninggalkannya.  Tak perduli meski Salwa nantinya tidak akan merespon perintahnya dan ia akan dikacangin.  Ia tetap ingin bicara pada istrinya.

Ternyata kecurigaannya salah, perempuan kecil itu sudah duduk di depannya ketika ia mengangkat wajah.

Dengan ekspresi cemas dan gelisah, Salwa meremas ujung bajunya.

Sikap itu membuat Ayub semakin bimbang.  Ketakutan Salwa merupakan simbol rasa bersalah.  Benarkah itu?

“Salwa!” ulang Ayub.

“Ya..?” lirih Salwa sembari mengangkat wajah dan menatap Ayub dengan pandangan penuh keragu-raguan. 

Salwa yang berani unjuk rasa, kini telah berubah.  Apa yang membuatnya demikian takut pada suami?

“Apa kamu masih mau ngebahas masalah tadi?”  mukanya mendung.  Agak kesal.  “Aku lebih baik makan beling, atau minum jus cabe dari pada denger kamu mojokin aku terus dengan menuduh aku selingkuh.”

“Aku hanya ingin kejujuran.”

“Nah, tu kan bener.  Masih ngebahas soal itu lagi?” 

Ayub memalingkan wajah, berusaha mengusir rasa nyeri di hatinya.  Sebenarnya ia juga malas membahas masalah itu.  Tapi ia butuh kebenaran.  Agar perasaan ragu itu tidak terus menyiksanya.

“Ya udah, sekarang mau ngomong apa?  Aku dengerin,” ucap Salwa mulai jutek.  Meski jutek, namun ekspresi takut itu belum hilang dari wajahnya.

“Takutlah pada Allah jika kamu berbohong.  Allah itu Maha tahu.  Maha melihat,” tegas Ayub membuat Salwa merasa terancam.  “Istri yang mendurhakai suami akan mendapat azab yang sangat pedih.  Kalo kamu mendustaiku, jangan ditambah lagi dengan dusta yang baru.  Ini terakhir kalinya kutanya, yang dikatakan Nur itu benar atau enggak?”

Salwa menekuk wajah.  Antara takut dan marah berbaur menjadi satu. 

“Aku nggak bisa ngeyakinin kamu dengan kata-kata dan cerita, tapi aku bisa bersumpah bahwa aku difitnah,” jelas Salwa merasa kesal karena tidak mendapat kepercayaan Ayub.  “Dalam hidupku, jauh tertanam kejujuran.  Mulai dari kecil, Abah menekanku agar wajib jujur dalam keadaan apapun.  Karena kunci selamat adalah kejujuran.  Itulah yang kutanamkan dalam hidupku.  Aku memang bukan cewek baik, aku nggak bisa mengemban tugas sebagai istri, aku bahkan sering bersikap kasar sama kamu, tapi aku nggak sehina itu.  Aku nggak akan merusak diriku dengan mengkhianati suamiku sendiri, mengotori kesucianku dengan cara seburuk itu.  Sedangkan suamiku aja belum pernah menyentuhku, gimana mungkin kubiarkan laki-laki lain yang menjamahku?  Kalo aku mau, aku nggak perlu main belakang sama Harun, langsung aja aku minta ganti suami, minta agar Harun nikahin aku dan kita berpisah. Tapi aku nggak ngelakuin itu karena aku nggak selingkuh. Di dunia ini aku nggak punya siapa-siapa lagi selain kamu.  Lalu, apa satu-satunya orang yang kumiliki juga akan membenciku?  Sekarang, aku hanya bisa bilang, dibalik kejadian ini aku dapet satu hikmah, ketika kamu nggak mempercayaiku, aku mulai sadar bahwa aku butuh kamu.”  Salwa bangkit berdiri dan memasuki kamar.

Cahaya Cinta Dari Surga √ (Sudah terbit) Where stories live. Discover now