19. Taatlah

72.1K 4.3K 127
                                    

Salwa memasuki rumah dan langsung menuju dapur.  Tenggorokannya terasa haus sehingga ingin meneguk air mineral yang dingin.  Langkah kakinya memelan begitu sampai di ambang pintu dapur dan beradu pandang dengan Ayub yang sedang duduk menghadap meja makan.

Pandangan Salwa beralih ke meja yang kosong.  Ia sadar Ayub pulang kerja tanpa disambut makanan di meja makan.  Dan setelah ini, ceramah sepanjang-panjangnya pasti sudah menantinya.

Sekilas Salwa melirik Ayub sambil menuangkan air minum ke gelas yang baru saja diambilnya dari rak.  Meneguknya dengan degupan kuat. 

“Kamu dari mana?”

Salwa terpaku menatap Ayub.

"Dari mana?" ulang Ayub.

"Belum apa-apa udah diteror sama pertanyaanmu."

"Bedakan teror dengan bertanya baik-baik." Ayub dingin.

"Kamu nggak mau aku bosan dan kabur dari rumah akibat mulutmu bukan? Jadi tolong, sekali aja nggak banyak tanya."

"Sekali lagi, aku perlu tau karena aku suamimu. Jawab!"

Nada suara Ayub yang mulai tegas membuat Salwa merasa harus menjawab

“Dari... banyak tempat.  Mol, kafe, sama di rumah temen juga,” jawab Salwa ketus.  Sadar dengan kesalahannya yang pergi tanpa tau waktu, tapi tidak mau terlihat salah dan disalahkan sehingga pasang nada ketus duluan.  “Nih, belanjaanku.”  Ia memperlihatkan beberapa paper bag di tangannya.

“Untuk menghabiskan banyak tempat itu, tentu kamu butuh waktu berjam-jam lamanya.”

Salwa menatap Ayub beringas.  Bentar lagi pasti bakalan dapet ceramah.

“Salwa, aku nggak ngelarang kamu bepergian.  Tapi tolong ingat sama waktu.”

Nah, tuh kan bener.  Salwa menggaruk kepala.

“Jam segini kamu nggak pulang kalo nggak ditelepon.  Inget Salwa, kamu udah menikah.  Udah punya suami.  Dan aku nggak mau kamu keluar rumah sepanjang hari.”

Salwa melepas napas keras-keras.  Lebih seperti mengeluh.  “Nggak bisa ya, sehari aja nggak ngomel?”

Ayub berdiri.  Mendekati Salwa dan menatap istrinya itu lekat-lekat.  “Jadi kamu menganggap ucapanku ini sebuah omelan?”

“Kalo bukan omelan, trus apa?  Ocehan?” ketus Salwa.

“Nasihat.”

Salwa tertegun.  Nasihat?  Ya, benar.  Ayub menasihatinya.

“Omelan itu diiringi dengan kemarahan.  Emangnya aku ngomong sambil marah-marah?  Enggak, kan?” lembut Ayub.

Skak mat!  Salwa tidak punya kata-kata untuk melawan.  Apa yang Ayub katakan benar.  Dia tidak bicara dengan nada marah.  Tapi kelembutan.

“Kamu nggak beli lauk untuk makan malam?”  Ayub tersenyum, berusaha sebisa mungkin agar Salwa tidak tersingggung.   

“Enggak.  Soalnya aku udah belanja bahan mentah.  Apa aku harus masakin kamu?” tanyanya polos.

“Aku nggak memintamu masak.  Kalau kamu capek, beli aja lauk matang.  Dengan begitu, kita bisa makan bersama.  Oke deh, lain kali akan kubawakan makanan matang sewaktu pulang kerja.  Tapi itu akan membuatmu kelaparan kalau aku pulang telat.”

“Aku bisa masak mi instan kalau lapar.  Pikirin aja perutmu sendiri.”

“Mi instan itu nggak sehat.”

“Aku bisanya masak yang instan doang.  Soalnya nggak repot.”

“Oke, kita belajar masak.  Supaya kamu nggak makan mi instan lagi, supaya kamu nggak kelaperan kalau aku telat bawain kamu lauk dari luar, dan supaya kamu bisa makan kalau lagi malas keluar beli lauk.”  Ayub menyingsingkan lengan baju.  Membuka kulkas, mengambil seikat bayam dan beberapa potong ikan.  Meletakkan ikan ke baskom, mencucinya.  Kemudian membubuhinya dengan bumbu kunyit yang baru saja ia blender.  Sementara waktu, ikan dibiarkan supaya bumbu meresap. 

Beralih ke bayam.  Ayub memotong-potong bayam di atas talenan dengan pisau dapur.  Kemudian mengiris bawang dan cabe seperlunya.  Lalu menumisnya bersama potongan bayam yang hijau dan segar.  Tidak butuh waktu lama, tumis bayam selesai.  Dilanjutkan dengan menggoreng ikan.

“Sewaktu suami pulang kerja dalam keadaan capek dan lapar, alangkah baiknya kamu siapkan makanan.  Itu akan jadi ladang amalmu.”

Muka Salwa langsung memerah.  Wajahnya yang masam membuat Ayub mengerti bahwa ia tidak menyukai ucapan yang baru didengar. 

“Bukankah di dalam kulkas udah tersedia bahan mentah?  Kau bisa masak sendiri seperti yang kau lakukan sekarang.  Nggak sampai lima menit selesai kok.  Itu mudah.  Apa harus aku juga yang melakukannya?  Kalau kau bilang mi instan itu nggak sehat, ambil aja yang lain.  Ada ikan sarden,” ketus Salwa sambil berkacak pinggang.

“Pekerjaan yang kamu lakukan untuk suami adalah ibadah, kamu akan menerima kebaikan atas apa yang kamu lakukan.”

“Jadi aku harus ngelayanin kamu, gitu?”

“Aku nggak memerintahmu gitu.  Aku hanya ingin kamu mencari kegiatan yang bermanfaat, yang menghasilkan amal untukmu.  Karena dalam setiap hal positif yang dilakukan dalam ikatan pernikahan itu merupakan ibadah.”

Salwa terhempas duduk di kursi.  Matanya nanar menatap Ayub jengah.  Tangannya melipat di meja.  “Jadi maksudmu, hidupku ini nggak bermanfaat karena nggak ngelakuin kegiatan yang bermanfaat?”

Yap, betul.  Hidup tanpa melakukan perbuatan yang baik tidaklah bermanfaat.  Kalimat itu hanya Ayub telan dalam hati.  Seandainya ia utarakan, mungkin sendok dan priuk akan melayang ke arahnya. 

Lagi, Ayub tersenyum. 

“Tapi aku udah belanja ke pasar, udah menyusun semuanya ke kulkas.  Pekerjaan itu bikin aku lelah, tauk.  Apa itu masih kurang untukmu?”

“Bukan untukku.  Tapi lakukanlah untukmu sendiri.”

Salwa berdiri.  Semakin emosi.  “Maksudmu apa, sih?  Yang minta disediain makanan itu kamu, bukan aku.  Kenapa malah aku yang jadi sasaran?” 

“Bukankah ganjaran amal itu diperoleh orang yang melakukan kebaikan?” Ayub menatap Salwa penuh percaya diri.  “Lakukanlah semua kegiatan hanya dengan niat demi mendapat keridhaan Allah, jangan lakukan demi aku.” 

Salwa mengerutkan dahi.  Sebel.  Ekspresinya itu jelas memperlihatkan ketidakpatuhan istri pada suami.

“Istri yang nggak diridhai suami karena nggak taat maka ia termasuk perempuan durhaka dan kufur nikmat,” lanjut Ayub sembari membalikkan ikan goreng di kuali.  Biarkan saja ia berceramah, mungkin Salwa merasa sangat ingin menyumpal lubang telinga dengan kapas agar suara Ayub tidak sampai ke gendang telinganya.  Tapi Ayub tidak akan mundur untuk berusaha menjadi pendidik dan pembimbing yang baik meski nasihatnya disambut dengan ekspresi kejam.

“Hehee…”  Salwa malah tertawa.  Tepatnya tertawa mengandung cemeeh.  Mukanya semakin sinis.  “Kau menakut-nakutiku, heh?  Aku wajib taat pada perintahmu, lalu kalau aku nggak taat maka Allah nggak akan meridhaiku?  Aku dinilai sebagai istri yang durhaka dan kufur nikmat, gitu?  Enak di kamu, nggak enak di aku.  Lalu kapan seoarng istri merasa merdeka jika di jaman yang nggak lagi dijajah begini masih aja dijajah suami?”

“Sebagai orang yang mengaku dirinya muslim, pedoman dan tuntunan hidup hanya berdasarkan Al Qur’an dan Hadits.  Itulah selurus-lurusnya jalan.  Begitu juga dengan apa yang kukatakan tadi.  Wajib bagi seorang istri taat pada suami dalam hal berbakti.  Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita.  Selayaknya pemimpin, maka ia mendapat pelayanan dari istri.  Betapa besar tanggung jawab dan kewajiban suami, mencari nafkah, mendidik istri, menjaga keluarga dari keburukan, dan masih banyak lagi.  Maka dari itulah besarnya kewajiban suami dibarengi dengan ketaatan istri.” 

“Kamu memang jago kalo berceramah.  Tepatnya hanya untuk memojokkan perempuan, dan mengangkat derajat kelelakianmu.  Memangnya hanya laki-laki yang diagungkan di Al Qur’an?  Perempuan juga punya hak.”

Ayub menelan.  Seakan kehabisan kata-kata.  Betapa keras hati Salwa.  Entah bagaimana lagi cara mencairkannya agar ia mengerti.  Tapi Ayub tidak rapuh, masih ingin melanjutkan niat untuk menasihati.


(Bersambung…)

Emma Shu

Cahaya Cinta Dari Surga √ (Sudah terbit) Where stories live. Discover now